Jumat, 20 Juni 2008

SIKAP KITA PADA SAHABAT RASULULLAH SAW

Para sahabat Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- merupakan generasi terbaik yang dipilih oleh Allah -Subhanahu wa Ta’ala- untuk menemani Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- dalam memperjuangkan, dan menyebarkan Islam. Jasa mereka kepada Islam dan kaum muslimin amat besar.
Namun sangat disayangkan, pada hari ini mencul generasi yang jelek berusaha merendahkan sahabat, menghina, bahkan menganggap mereka munafiq dan kafir, na’udzu billah. Usaha merendahkan dan mencela sahabat, ini dengan berbagai macam. Ada yang menghina sahabat dengan alasan “Study Kritis Sejarah Islam”, “Pembelaan Terhadap Ahlul Bait”, dan berbagai macam slogan yang berakhir pada satu muara, yaitu mencela sahabat Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- .
Ini tentunya menyalahi adab dan aqidah ahlus sunnah yang memerintahkan kita memuliakan sahabat, memujinya, mendoakan kebaikan baginya, dan menahan lisan dan hati untuk benci kepada mereka. Mencela sahabat, apalagi sampai menganggapnya munafik, telah berbuat makar, dan mengkafirkannya adalah merupakan perkara yang berbahaya bagi aqidah seorang muslim. Seorang muslim harus membersihkan lisan dan hatinya dari kata-kata yang tidak layak, sifat benci dan dendam kepada para sahabat -radhiyallahu anhum ajma’in-, apakah ia dari kalangan orang-orang terdahulu masuk Islam ataukah belakangan. Yang jelas ia adalah sahabat Nabi-shollallahu alaihi wasallam-, maka kita harus beradab dan sopan kepada mereka dalam berkata dan bersikap.
Cinta para sahabat Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, baik itu ahlul bait maupun bukan merupakan tanda keimanan seseorang, dan membenci mereka adalah tanda nifaq. Al-Imam Al-Bukhary -rahimahullah- berkata dalam kitab Shahih-nya (1/14/17),“Bab Tanda Keimanan Adalah Cinta Kepada Orang-Orang Anshar”. Setelah itu Al-Bukhary membawakan sebuah hadits dari Anas -radhiyallahu ‘anhu- dari Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, beliau bersabda,
آيَةُ الْمُنَافِقِ بُغْضُ اْلأَنْصَارِ وَآيَةُ الْمُؤْمِنِ حُبُّ اْلأََنْصَارِ
“Tanda kemunafiqan itu adalah membenci orang-orang Anshar dan tanda keimanan itu adalah mencintai orang-orang Anshar”.
Imam As-Suyuthiy -rahimahullah- berkata dalam Ad-Dibaj (1/92) ketika menafsirkan hadits di atas, “Tanda-tanda orang beriman adalah mencintai orang-orang Anshar karena siapa saja yang mengerti martabat mereka dan apa yang mereka persembahkan berupa pertolongan terhadap agama Islam, jerih-payah mereka memenangkannya, menampung para sahabat (muhajirin,pen), cinta mereka kepada Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, pengorbanan jiwa dan harta mereka di depan Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, permusuhan mereka terhadap semua orang (kafir) karena mengutamakan Islam dan mencintainya, maka semua itu merupakan tanda kebenaran imannya, dan jujurnya dia dalam berislam. Barangsiapa yang membenci mereka dibalik semua pengorbanan itu, maka itu merupakan tanda rusak dan busuknya niat orang ini”.
Dalam sebuah hadits Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda dalam menerangkan martabat para sahabat,
لاَ تَسُبُّوْا أَصْحَابِيْ فَلَوْا أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَ نَصِيْفَهُ
“Janganlah kalian mencela para sahabatku. Andaikan seorang di antara kalian berinfaq emas sebesar gunung Uhud, niscaya infaq itu tak mampu mencapai satu mud infaq mereka, dan tidak pula setengahnya” . [HR.Al-Bukhary dalam Ash-Shahih (3470), Muslim dalam Ash-Shahih (2541) dan lainnya].Dari dua hadits ini dan hadits lainnya yang semakna, Ahlis Sunnah menetapkan suatu aqidah: “Wajibnya mencintai para sahabat Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- dan tidak mencela mereka, bahkan memuliakan mereka serta membersihkan hati dan lisan dari membicarakan permasalahan di antara para sahabat, mencela, merendahkan dan menghina para sahabat”. Sebab merekalah yang memperjuangkan Islam dan menyebarkannya dengan mengorbankan harta dan jiwa mereka sampai kita juga bisa merasakan nikmat Islam.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah-rahimahullah- berkata, “Di antara prinsip Ahlus Sunnah: Selamatnya hati dan lisan mereka dari sahabat Rasulullah shollallahu alaihi wasallam- dan berlepas diri dari jalan hidupnya orang-orang Rofidhoh yang membenci dan mencela para sahabat. Mereka (Ahlussunnah) menahan diri dari perselisihan yang terjadi di antara mereka, dan berkata: [‘Sesungguhnya atsar-atsar yang teriwayatkan mengenai kejelekan para sahabat, di antaranya ada berita dusta, ada juga yang sudah ditambahi dan dikurangi, serta diubah dari semestinya’]. Para sahabat lebih dahulu berislam, dan memiliki keutamaan-keutamaan yang mengharuskan diampuninya dosa yang ada pada dari mereka, apabila ada. Sehingga mereka diampuni dari segala kekeliruan yang tidak diampuni bagi orang setelah mereka. Lalu jika ada dosa pada salah seorang di antara mereka, maka mereka (tentunya) akan bertaubat darinya, atau ia melakukan kebaikan yang bisa menghapuskan dosanya atau diampuni dosanya karena keutamaan dahulunya masuk Islam, atau karena syafa’at Nabi Muhammad -shollallahu ‘alaihi wasallam- kepada mereka, yangmana mereka adalah orang yang lebih berhak mendapatkan syafa’atnya, ataukah ia ditimpakan suatu bala’ di dunia yang bisa menghapuskan dosanya. Jika ini hubungannya dengan dosa yang nyata, maka bagaimana lagi dengan perkara yang mereka di dalamnya berijtihad? Jika mereka benar, maka mereka mendapatkan dua pahala. Jika keliru, maka mereka mendapat satu pahala, sedangkan kesalahannya terampuni”.[lihat Syarah Al-Aqidah Al-Wasithiyyah (hal. 139-152) karya Syaikh Shaleh Al-Fauzan, dengan sedikit perubahan tanpa merusak dan mengubah makna].
Orang Rafidhah yang disebut oleh Syaikhul Islam, mereka adalah berasal dari orang-orang majusi yang mengaku masuk Islam dengan tujuan merusak Islam dari dalam. Mereka berkedok dengan pembelaan bagi Ahlul Bait dalam rangka mencela, bahkan sabahat Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- agar Islam hancur. Sekarang Rofidhoh (baca:Syi’ah) bermarkas di Iran. Karenanya, kami ingatkan kaum muslimin agar berhati-hati terhadap mereka dan jauhkan anak-anak kita dari mereka, jangan sampai di sekolahkan di negeri mereka (khususnya, di Qum, Iran), hanya karena diiming-imingi dengan dunia dan gelar, sementara ia rela mengorbankan aqidah. Na’udzu billah minal khudzlan.
Hal ini perlu kami jelaskan, karena orang-orang Rafidhah (terkenal dengan sebutan Syi’ah) belakangan ini banyak merasuki dunia kampus, dan sebagian oragnisasi dakwah. Selain itu, mereka memakai senjata “nikah mut’ah” (nikah kontrak/nikah tanpa wali) banyak mahasiswa yang terpengaruh dengan mereka karenanya. Apalagi nikah mut’ah dibumbui dengan janji-janji pahala dan keutamaan. Ketahuilah, mereka adalah kaum yang memiliki niat busuk dalam mencela sahabat Nabi kita -Shollallahu ‘alaihi wasallam-.
Al-Imam Al-Ajury-rahimahullah- berkata, “Seyogyanya bagi orang yang mau mentadabburi apa yang telah kami torehkan berupa keutamaan-keutaan para sahabat Rasulullah -shollallahu ‘alaihi wasallam- dan keluarga beliau -radhiyallahu anhum ajma’in- agar mencintai mereka, mendoakan rahmat bagi mereka, memohonkan ampunan bagi mereka, mencari jalan kepada Allah untuk mereka, juga bersyukur kepada Allah karena ia diberi taufiq (petunjuk) kepada hal ini, serta tidak menyebutkan perselisihan yang terjadi di antara mereka, dan mengorek-ngoreknya, dan tidak pula mencari-carinya”.[lihat Asy-Syari’ah, hal. 2485 karya Al-Ajurriy.]
Oleh karena itu, tak wajar jika seorang muslim menyebarkan hadits yang berisi kisah celaan kepada Tsa’labah, karena termasuk perkara yang dilarang Ahlus Sunnah, kecuali jika kita sebutkan hadits itu demi menjelaskan kelemahan dan kepalsuannya, maka tak mengapa. Bahkan bisa mendapatkan pahala karena membela kehormatan sahabat Nabi -Shollallahu alaihi wa sallam-.
Al-Imam An-Naqid Abu Zur’ah Ar-Rozy-rahimahullah- berkata, “Apabila engkau melihat seseorang mencela salah seorang sahabat Rasulullah -shollallahu ‘alaihi wasallam-, maka ketahui bahwa orang itu zindiq. Karena Rasul -Shollallahu ‘alaihi wasallam- di sisi kami benar, dan Al-Qur’an adalah kebenaran. Sedangkan yang menyampaikan Al-Qur’an ini kepada kami adalah para sahabat Rasulullah -shollallahu ‘alaihi wasallam-. Mereka (para pencela tersebut) hanyalah berkeinginan untuk menjatuhkan saksi-saksi kami agar mereka bisa membatalkan Al-Kitab dan As-Sunnah. Padahal celaan itu lebih pantas bagi mereka, sedang mereka adalah orang-orang zindiq”. [lihat Al-Kifayah, hal. 49 karya Al-Khathib Al-Baghdadiy]
Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thohawy-rahimahullah- berkata dalam menjelaskan aqidah Ahlussunnah, “Kami mencintai para sahabat Rasulullah -shollallahu alaihi wasallam-, tidak berlebihan dalam mencintai salah seorang di antara mereka,dan tidak berlepas diri dari salah seorang di antara mereka. Kami membenci orang yang membenci mereka dan menyebutnya bukan dalam kebaikan. Kita tidak menyebut para sahabat kecuali dengan kebaikan. Mencintai mereka adalah agama, keimanan,dan kebaikan. Sedang membenci mereka merupakan kekufuran, kemunafikan, dan pelampauan batas”. [lihat Syarh Al-Aqidah Ath-Thohawiyyah, hal. 689 karya Ibnu Abil Izz Al-Hanafy.]
Al-Imam Abu Hanifah -rahimahullah- berkata, “Al-Jama’ah: Engkau mengutamakan Abu Bakar, Umar , Ali, dan Utsman, dan engkau tidak mencela salah seorang diantara sahabat Rasulullah -shollallahu ‘alaihi wasallam- “. [lihat Al-Intiqo’ fi fadho’il Ats-Tsalatsah Al-A’immah, hal. 163 karya Ibnu Abdil Barr, cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah]
Imam Darul Hijrah, Malik bin Anas-rahimahullah- berkata, “Orang yang mencela para sahabat Nabi -shollallahu alaihi wasallam- tidak memiliki saham-atau ia berkata:- bagian dalam Islam”. [lihat As-Sunnah (1/493) karya Al-Khollal]
Al-Imam Al-Humaidy -rahimahullah- berkata, “Kita tidaklah diperintah kecuali untuk memohonkan ampunan bagi mereka (sahabat). Barangsiapa yang mencela mereka atau meremehkan mereka atau salah seorang dari mereka, maka ia bukanlah di atas sunnah, dan ia tidak memiliki bagian dari fa’i (rampasan perang)”. [lihat Ushul As-Sunnah, hal.43 karya Al-Humaidy]
Al-Imam Ahmad bin Hambal - rahimahullah- berkata, “Barangsiapa mencela (sahabat), maka aku takutkan kekufuran atas dirinya, seperti orang-orang Rofidhoh.” Lalu beliau berkata lagi, “Barangsiapa yang mencela para sahabat Rasulullah–shollallahu alaihi wasallam- , maka kami tak merasa aman atas dirinya kalau ia akan keluar dari agama”. [lihat As-Sunnah (1/439) karya Al-Khollal]
Inilah beberapa pernyataan dari para ulama Ahlussunnah tentang orang yang mencela sahabat. Maka janganlah anda tertipu dengan sebagian orang yang berusaha mencela mereka sekalipun dengan istilah dan slogan “Studi Kritis Terhadap Sejarah Hidup Para Sahabat”. Karena ini, bukanlah jalannya Ahlussunnah, bahkan jalannya orang-orang Rofidhoh, dan orientalis yang ingin meruntuhkan Islam dengan jalan mencela dan merendahkan para sahabat. Kenapa? Karena dengan mencela mereka otomatis akan menolak riwayat yang disampaikan oleh para sahabat berupa hadits-hadits Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Sedang Islam, terdapat dalam Al-Qur’an dan hadits.
Ahlus Sunnah menjauhkan diri dari mengorek-ngorek kesalahan para sahabat dan menghukumi mereka karena mereka para sahabat-radhiyallahu anhum- adalah suatu kaum yang telah mempersembahkan amal sholeh dan jihad dalam membela Islam. Bahkan mereka telah menghabiskan waktunya, mengorbankan harta dan tenaganya dalam membela Nabi -shollallahu alaihi wasallam-, Islam dan menyebarkannya sehingga sampai kepada kita. Mereka telah banyak berusaha untuk Islam, lalu apa yang kita persembahkan untuk Islam sehingga kita merasa lebih hebat dibanding sahabat dan malah justru mau menghakimi mereka yang telah lama meninggal. Lalu apa mamfaat yang kalian peroleh dalam mengkritisi sejarah hidup para sahabat? Wallahi, tiada lain kecuali kerugian yang akan kalian petik di dunia dan akhirat. Nas’alullahal afiyah wassalamah minal khudzlan

PENGKHIANATAN TERHADAP AHLUL BAIT RASULULLAH SAW

Sesungguhnya segala puji bagi Allah, kami memuji-Nya, meminta pertolongan dan ampunan kepada-Nya. Kami berlindung kepada Allah dari kejahatan jiwa-jiwa kami dan kejelekan amalan-amalan kami. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak akan ada yang menyesatkannya. Dan barangsiapa disesatkan oleh Allah, maka tidak akan ada yang memberi petunjuk kepadanya.Saya bersaksi bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan yang berhak untuk disembah kecuali hanya Allah saja, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah seorang hamba dan utusan-Nya.
Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam. Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan. Setiap perkara yang diada-adakan adalah bid’ah. Setiap bid’ah adalah sesat. Dan setiap kesesatan ada di neraka.
“Akan datang pada manusia tahun-tahun yang penuh dengan penipuan, dibenarkan orang yang berdusta dan didustakan orang yang jujur, dipercaya orang yang khianat dan dikhianati orang yang amanah…” (HR. Ibnu Majah 4042, disahihkan al-Albani dalam Silsilah Ahadits Shahihah 1887)
“Tanda orang-orang munafik itu ada tiga keadaan. Pertama, apabila berkata-kata ia berdusta. Kedua, apabila berjanji ia mengingkari. Ketiga, apabila diberikan amanah ia mengkhianatinya” (HR. Bukhari dan Muslim)
Diantara ciri yang paling menonjol dari orang-orang munafik adalah kebiasaan mereka berdusta dan kelakuan mereka yang selalu mengingkari janji dan berkhianat. Dan diantara ciri khas para penghianat adalah dia tidak membedakan bersama siapa dia berkhianat serta bersama siapa dia dapat dipercaya. Sungguh kedustaan adalah bagian dari penyakit nifaq yang apabila telah mengalir dalam darah seseorang akan menjadikannya sebagai seorang penghianat, walaupun kepada orang-orang yang paling dekat dengannya.
Orang-orang Syiah yang ghuluw (berlebihan) dalam mencintai Ahlul bait, terutama kepada Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu, sesungguhnya telah tampak dengan jelas penghianatan mereka sejak periode pertama gerakan Tasyayyu’ (Menjadi Syiah), pada saat fitnah berkobar diantara dua orang sahabat Nabi yang mulia, Ali dan Muawiyah Radhiyallahu anhuma.
Maka ditulislah risalah ini di tengah badai fitnah ketika sejarah Islam diselubungi kabut tebal kedustaan (taqiyyah) pemahaman para penghianat dan pendusta yang memutar balikkan sejarah dengan berlindung di balik kata-kata cinta kepada Ahlul bait padahal sesungguhnya merekalah orang-orang berada dibarisan terdepan dalam menghianati Ahlul bait.
Sikap Para Pengkhianat Terhadap Ali Bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu
Sebagian besar pendukung (syiah) Ali Bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu adalah penduduk Iraq, terutama penduduj Kufah dan Bashrah. Ketika Ali berkeinginan untuk pergi berperang bersama mereka ke Syam, setelah berhasil meredam fitnah Kaum Khowarij (salah satu sekte pecahan syiah Ali sendiri yang malah mengkafirkan Ali bin Abi Thalib), mereka malah meninggalkan beliau Radhiyallahu Anhu padahal sebelumnya mereka telah berjanji untuk membantunya dan pergi bersamannya. Tetapi dalam kenyataannya, mereka semua membiarkannya, dan mereka mengatakan, “Wahai Amirul Mukminin, anak panah kami telah musnah, pedang-pedang dan tombak-tombak kamu telah tumpul, maka kembalilah bersama kami, sehingga kami menyediakan peralatan yang lebih baik” Kemudian Ali Mengetahui, bahwa semangat merekalah yang sesungguhnya sudah tumpul dan melemah, dan bukan pedang-pedang mereka. Mulailah mereka pergi secara diam-diam dari tempat tentara Ali Bin Abi Thalib dan kembali ke rumah mereka tanpa sepengatahuan beliau, sehingga kamp-kamp militer tersebut menjadi kosong dan sepi. Ketika beliau melihat hal tersebut, beliau kembali ke Kufah dan mengurungkan niatnya untuk pergi.
Ali Bin Abi Thalib mengetahui bahwa perkara apa pun tidak dapat mereka menangkan walaupun mereka telah berbuat adil dan beliau adalah seorang yang adil walaupun kepada para pendukung beliau, beliau tidak dapat menyembunyikan kekesalannya dan persaksiannya terhadap para penipu ini kemudian berkata kepada mereka, “Kalian hanyalah pemberani –pemberani dalam kelemahan, serigala-serigala penipu ketika diajak bertempur, dan aku tidak percaya pada kalian…kalian bukanlah kendaraan yang pantas ditunggangi, dan bukan pula orang mulia yang layak dituju. Demi Allah sejelek-jelek provokator perang adalah kalian. Kalianlah yang akan tertipu, dan tidak akan dapat merencanakan tipu daya jahat, dan kebaikan kalian akan lenyap dan kalian tidak dapat menghindar”
Yang anehnya lagi, para pendukung (syiah) Ali di Iraq ini tidak hanya mundur dari medan perang ke Syam bersama beliau, tetapi mereka juga takut dan keberatan untuk mempertahankan wilayah mereka sendiri. sementara pasukan Muawiyah telah menyerang Ain At Tamr dan daerah-daerah Iraq yang lain. Mereka tidak tunduk terhadap perintah Ali untuk mempertahankannya, sampai-sampai Amirul Mukminin Ali berkata kepada mereka,”Wahai penduduk Kufah, setiap kali kalian mendengar kedatangan pasukan dari Syam, maka setiap orang dari kalian masuk ke dalam kamar rumahnya dan menutup pintunya seperti masuknya biawak ke persembunyiannya dan hyena ke dalam sarangnya….Orang yang tertipu adalah orang yang kalian bodohi, dan bagi yang menang bersama kalian, adalah menang dengan bagian yang nihil. Tidak ada orang-orang yang berangkat ketika dipanggil, dan tidak ada saudara-saudara yang dapat dipercaya ketika dibutuhkan. Sesungguhnya kita adalah milik Allah dan hanya kepadaNya kita kembali” .
Sikap Para Pengkhianat Syiah terhadap Al Hasan bin Ali Radhiyallahu anhu.
Ketika Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu terbunuh oleh Ibnu Muljam (seorang khowarij yang tadinya termasuk syiah Ali namun mengkafirkan beliau setelah itu), Al Hasan Radhiyallahu anhu dibaiat menjadi khalifah, dan beliau yakin tidak dapat berhasil perang melawan Muawiyah. Terutama setelah sebelumnya sebagian pengikutnya di Iraq telah meninggalkan ayahnya. Tetapi para para pengikut mereka di Iraq kembali meminta Al Hasan untuk memerangi Muawiyah dan penduduk Syam, padahal jelas-jelas sebenarnya Al Hasan berkeinginan menyatukan kaum muslimin saat itu, karena beliau faham sekali tentang kelakuan orang-orang syiah di Iraq ini yang beliau sendiri membuktikan hal tersebut, Ketika beliau menyetujui mereka (orang-orang syiah di Iraq) dan beliau mengirimkan pasukannya serta mengirim Qais bin Ubadah di bagian terdepan untuk memimpin dua belas ribu tentaranya, dan singgah di Maskan, ketika Al Hasan sedang berada di Al Mada’in tiba-tiba salah seorang penduduk Iraq berteriak bahwa Qais telah terbunuh. Mulailah terjadi kekacauan di dalam pasukan, para maka orang-orang syiah Iraq kembali para tabiat mereka yang asli (berkhianat), mereka tidak sabar dan mulai menyerang kemah Al Hasan serta merampas barang-barangnya, bahkan mereka sampai melepas karpet yang ada dibawahnya, mereka menikamnya dan melukainya. Dari sinilah salah seorang penduduk Syiah Iraq, Mukhtar bin Abi Ubaid Ats Tsaqafi merencanakan sesuatu yang jahat, yaitu mengikat Al Hasan bin Ali dan menyerahkan kepadanya, karena ketamakannya dalam harta dan kedudukan. Pamannya yang bernama Sa’ad bin Mas’ud Ats Tsaqafi telah datang, dia adalah salah seorang wali dari Mada’in dari kelompok Ali. Dia (Mukhtar bin Abi Ubaid) bertanya kepadanya, “Apakah engkau menginginkan harta dan kedudukan? Dia berkata, “Apakah itu?” Dia Menjawab,”Al Hasan kamu ikat lalu kamu serahkan kepada Muawiyah” Kemudian pamannya berkata “ Allah akan melaknatmu, berikan kepadaku anak putrinya Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, ia memperhatikannya lalu mengatakan, kamu adalah sejelek-jelek manusia”
Maka Al Hasan radhiyallahu anhu sendiri berkata “ Aku Memandang Muawiyah lebih baik terhadapku dibanding orang-orang yang mengaku mendukungku (Syiahku), mereka malah ingin membunuhku, mengambil hartaku, demi Allah saya dapat meminta dari Muawiyah untuk menjaga keluargaku dan melindungi keselamatan seluruh keluargaku, dan semua itu lebih baik daripada mereka membunuhku sehingga keluarga dan keturunanku menjadi punah. Demi Allah, jikalau aku berperang dengan Muawiyah niscaya mereka akan menyeret leherku dan menganjurkan untuk berdamai, demi Allah aku tetap mulia dengan melakukan perdamaian dengan Muawiyah dan itu lebih baik dibanding ia memerangiku dan aku menjadi tahanannya”
Maka para penghianat ini sebenarnya amat benci terhadap Al Hasan bahkan keturunannya, namun mereka berusaha menutup-nutupinya, maka mereka (syiah rafidhoh imamiyah) mengeluarkan keturunan Al Hasan dari silsilah para Imam ma’shum versi mereka yang mereka mengangkat Imam-Imam mereka itu bahkan diatas kedudukan para Nabi dan malaikat terdekat dengan Allah (tulisan Khumaini dalam, al hukumah islamiyah hal 52), walaupun demikian agar tidak terbongkar kebencian mereka ini mereka tetap mencantumkan Al Hasan dalam deretan Imam mereka. Itulah cara dan memang tabiat mereka untuk menipu kaum muslimin.
Mengapa mereka tidak mencantumkan keturunan Al Hasan dalam imam-imam mereka? Apa keturunan Al Hasan bukan keturunan ahlul bait? Jawabnya adalah karena Al Hasan berdamai dengan Muawiyah dan menyatukan kaum muslimin saat itu, sehingga tercelalah keturunannya dan tidak layaklah mereka menjadi imam mereka, itulah hakikat tabiat sejati seorang penghianat yang tidak pernah menginginkan perdaimaian dan persatuan diantara kaum muslimin.
Sikap Para Pengkhianat Syiah terhadap Husain bin Ali Radhiyallahu anhu
Setelah wafatnya Muawiyah Radhiyallahu anhu pada 60 H yang sebelumnya beliau menunjuk Yazid untuk menjadi pemimpin yang niat beliau agar tidak terjadi lagi perpecahan diantara kaum muslimin dalam masalah kekuasaan. Maka berpalinglah para utusan ahli dari Iraq kepada Husain bin Ali Radhiyallahu anhu dengan penuh antusias dan simpati, Lalu mereka berkata kepada Husain,“Kami telah dipenjara hanya demi engkau, dan kami juga tidak mengikuti shalat jum’at bersama penguasa yang ada, sehingga datanglah Sang Imam (Al Mahdi) kepada kami“
Di bawah tekanan mereka, terpaksa Husain memutuskan untuk mengirim anak pamannya, Muslim bin Aqil untuk mengetahui keadaan yang terjadi, maka keluarlah Muslim pada bulan Syawal tahun 60 H.
Ia tidak mengetahui telah tibanya penduduk Iraq sehingga mereka datang kepadanya, maka mulailah mereka berbaiat kepada Husain. Disebutkan, bahwa jumlah mereka yang berbaiat sebanyak dua belas ribu orang, kemudian penduduk Kufah pun mengirim utusan utnuk membaiat Husain dan semuanya berjalan dengan baik.
Tetapi sayang, Husain radhiyallahu anhu tertipu oleh penghianatan mereka. Husain pergi menemui mereka walaupun sudah diperingatkan oleh para sahabat Nabi dan orang-orang yang terdekat dengan beliau agar tidak keluar menemui mereka, hal itu karena mereka telah mengetahui penghianatan yang selama ini telah dilakukan oleh kaum Syiah Iraq. Sampai-sampai Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu berkata kepada Husain , “Apakah engkau akan pergi ke kaum (golongan) yang telah membunuh pemimpin mereka, merampas negeri mereka, dan memusnahkan musuh mereka, walaupun mereka telah melakukan hal itu, apakah kamu tetap pergi kepada mereka? Mereka mengajakmu kesana, sedang penguasa mereka bersikap tiran terhadap mereka, apa yang mereka lakukan hanya untuk negara mereka saja, mereka hanya mengajak anda menuju medan perang dan pembantaian, dan anda tidak akan aman bersama mereka, mereka akan mengkhianati, menipu, membangkang, meninggalkan, dan berbalik memerangi kamu dan nanti mereka menjadi orang yang sangat keras permusuhannya kepadamu..“
Begitu juga Muhammad bin Ali bin Abi Thalib yang populer dengan gelar Ibnu al-Hanif, sudah menasehatkan kepada saudaranya al-Husein radhiyallahu ‘anhum seraya mengatakan: “Wahai saudaraku, penduduk Kufah sudah Anda ketahui betapa pengkhianatan mereka terhadap bapakmu Ali radhiyallahu ‘anhu dan saudaramu al-Hasan radhiyallahu ‘anhu. Saya khawatir nanti keadaanmu akan sama seperti keadaan mereka sebelumnya!”
Dengan jelas tampaklah pengkhianatan Syiah ahli Kufah, walaupun mereka sendiri yang telah mengharapkan akan kedatangan Husain, hal itu sebelum Husain sampai kepada mereka. Maka penguasa Bani Umayyah, Ubaidillah bin Ziyad ketika mengetahui sepak terjang Muslim bin Aqil yang telah membaiat Husain dan sekarang berada di Kufah, ia segera mendatangi Muslim dan langsung membunuhnya, sekaligus terbunuh pula tuan rumah yang menjamunya Hani bin Urwah Al Muradi. Dan kaum Syiah Kufah tidak akan memberikan bantuan apa-apa, bahkan mereka mengingkari janji mereka terhadap Husain Radhiyallahu anhu, hal itu mereka lakukan karena Ubaidillah bin Ziyad memberikan sejumlah uang kepada mereka.
Ketika Husain Radhiyallahu anhu keluar bersama keluarga dan beberapa orang pengikutnya yang berjumlah sekita 70 orang laki-laki dan langkah itu ditempuh setelah adanya perjanjian-perjanjian dan kesepakatan, kemudian masuklah Ibnu Ziyad untuk menghancurkannya di medan peperangan, Maka terbunuhlah Al Husain Radhiyallahu anhu dan terbunuh pula semua sahabatnya termasuk ketiga saudara dari Husain sendiri Abu Bakar bin Ali bin Abi Thalib, Umar bin Ali bin Abi Thalib, dan Ustman bin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhum , ketiga anak Ali bin Abi Thalib selain Hasan, Husain dan Muhammad Ibn Hanafiyyah radhiyallahu ‘anhum.
Ketika Husain Radhiyallahu anhu keluar bersama keluarga dan beberapa orang pengikutnya yang berjumlah sekitar 70 orang laki-laki, dan langkah itu ditempuh setelah adanya pernjanjian-perjanjian dan kesepakatan, kemudian masuklah Ibnu Ziyad untuk menghancurkannya di medan peperangan, maka terbunuhlah Al Husain Radhiyallahu anhu dan terbunuh pula semua sahabatnya. Ucapannya yang terakhir sebelum wafat adalah “Ya Allah berikanlah putusan di antara kami dan diantara orang-orang yang mengajak kami untuk menolong kamu namun ternyata mereka membunuh kami“.
Bahkan doanya atas mereka (syiah) sangat terkenal, beliau mengatakan sebelum wafatnya, “Ya Allah, apabila Engkau memberi mereka kenikmatan, maka cerai beraikanlah mereka, jadikanlah mereka menempuh jalan yang berbeda-beda, dan janganlah restui pemimpin mereka selamanya, karena mereka telah mengundang kami untuk menolong kami, namun ternyata kemudian memusuhi kami dan membunuh kami“.Maka terungkap jelaslah kelakuan para penghianat yang menjadikan tameng dan mereka bertopeng dibalik ungkapan kecintaan mereka kepada Ahlul bait yang mereka jadikan kecintaan tersebut sebagai alasan memusuhi setiap orang yang mereka benci, padahal sungguh merekalah penghianat sesungguhnya yang menyimpan kebencian dendam kepada Islam yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam beserta Ahlul Bait dan para sahabatnya. Yang selama ini mereka putarbalikkan sejarah dengan riwayat-riwayat palsu mereka yang itu memang tabiat dan ajaran agama mereka sesungguhnya dengan Taqiyyah (kedustaan) yang selalu mereka lakukan.
Maka wajib bagi kita mengambil ibroh dan pelajaran dari sejarah ini, penghianatan yang berulang-ulang mereka lakukan kepada orang-orang yang dikatakan mereka cintai (ahlul bait) mereka berkhianat, apalagi kepada kaum muslimin secara umum, ditipunya Syaikh Syaltut (tokoh lembaga darut taqrib: lembaga pendekatan sunni-syiah) oleh mereka, digantungnya Syaikh Ahmad Mufti Zaddah tahun 1993 (tokoh lembaga darut taqrib dari kalangan ahlussunnah di iran). Sudah cukup menjadi bukti pengkhianatan adalah tabiat dan kelakuan mereka yang sudah mendarah daging dan patut kita waspadai.
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka”Sesungguhnya urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat. (Q.S. Al-An’am: 159)
Semoga shalawat dan salam senantiasa Allah limpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam beserta keluarga dan para sahabatnya radiyallahu anhum ajmain dan orang-orang yang mengikuti beliau hingga akhir zaman.
Ya Allah, tunjukkanlah kebenaran itu sebagai kebenaran dan berilah kami kekuatan untuk mengikutinya, serta tunjukkanlah kebatilan itu sebagai sebuah kebatilan, dan berilah kami kekuatan untuk menjauhinya.
Maha Suci Engkau Ya Allah, dan dengan memuji-Mu, saya bersaksi bahwa tiadaTuhan yang berhak disembah melainkan Engkau, saya memohon ampun danbertaubat kepada-Mu.
Wallahu A’lam
1.Tidak semua pendukung Ali bin Abi Thalib fanatik, yang dimaksudkan disini adalah para pengikut Abdullah bin saba ((yahudi yg pura-pura masuk Islam) yang memang mengkultuskan Ali bin Abi Thalib bahkan sampai menuhankannya
2.Tarikh Ath Thabari : Tarikh Al Umam wa Al Muluk, 5/89-90. Ibnul Atsir, Al kamil fi at Tarikh, 3/349.
3.Tarikh Ath Thabari, 5/90. Al Alam Al Islami fi ashri Al Umawi hal 91.
4. Mirip seperti kelakuan Syiah rafidhoh (faksi hizbullah) di masa ini yg katanya ingin membela palestina namun hanya bertahan di libanon saja mempertahankan wilayahnya.
5.Tarikh Ath Thabari 5/135. Al Alam Al Islami Fi Ashri Al Umawi hal 96.
6.Mukhtar bin Abi Ubaid Ats Tsaqafi inilah yang menentang Daulah Umawiyah dan mengaku sebagai pengikut Ahlul Bait serta menuntut kematian Al Husain.Itu semua tidak lain hanyalah topeng dan kedok untuk bersembunyi dari kerakusannya terhadap kekuasaan.
7.Tarikh Ath Thabari, 5/195. Al Alam Al Islami fi Ashri Al Umawi. Hal 101.
8. Yazid menurut ulama dan Imam-imam kaum muslimin adalah raja dari raja-raja islam Mereka tidak mencintainya seperti mencintai orang-orang shalih dan wali-wali Allah dan tidak pula melaknatnya. Karena sesungguhnya mereka tidak suka melaknat seorang muslim secara khusus (ta yin). Di samping itu kalaupun dia sebagai orang yang fasiq atau dhalim, Allah masih mungkin mengampuni orang fasiq dan dhalim. Lebih-lebih lagi kalau dia memiliki kebaikan-kebaikan yang besar.Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahihnya dari Ummu Harran binti Malhan radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:Tentara pertama yang memerangi Konstantiniyyah akan diampuni. (HR. Bukhari) Padahal tentara pertama yang memeranginya adalah di bawah pimpinan Yazid bin Mu’awiyyah dan pada waktu itu Abu Ayyub al-Anshari radhiyallahu ‘anhu bersamanya
9. Al-Luhuuf; oleh Ibn Thawus; hal. 39. Asyuura’; oleh al-Ihsa-i; hal. 115. Al-Majaalisu al-Faakhirah; oleh Abdu al-Hu-sein; hal. 75. Muntaha al-Amaal; (1/454). Alaa Khathi al-Hu-sain hal.96.110) Al-Majaalisu al-Faakhirah; hal.79. ‘Alaa Khathi al-Husain; hal 100. Lawaa’iju al-Asyjaan; oleh al-Amin; hal. 60. Ma’aalimu al-Madrasatain (3/62).
10. Tarikh Ath Thabari, 5/389
11. Al Irsyad, hal 241. I’lam Al Wara li Ath Thibrisi, hal 949. (doa Husein Radhiyallahu anhu ini terjawab syiah sampai saat ini berpecah belah sedemikian rupa setiap kewafatan imam mereka, mereka berpecah belah satu dan lainnya, dan diantara mereka saling kafir mengkafirkan satu dengan lainnya).

Selasa, 17 Juni 2008

YUSUF SAIGON AL-BANJARI

SALAH seorang anak Mufti Jamaluddin bin Muhammad Arsyad al-Banjari, ialah Muhammad Thasin al-Banjari. Beliau mengembara ke beberapa buah negeri kerana menyebarkan agama Islam terutama sekali dalam bidang ilmu tajwid. Sewaktu beliau merantau ke Brunei, berkahwin di sana, memperoleh anak bernama Ramli. Diriwayatkan ramai keturunannya di Brunei dan Sabah. Muhammad Thasin al-Banjari meneruskan perantauannya ke Pontianak, Kalimantan Barat memperoleh tiga orang anak lelaki, iaitu Muhammad Yusuf, Muhammad Arsyad dan Abdur Rahman.Diriwayatkan, bahawa Muhammad Yusuf bin Haji Thasin setelah belajar ilmu-ilmu keislaman secara mendalam, beliau meneruskan usaha akhirnya menjadi saudagar intan. Muhammad Yusuf juga merantau ke seluruh tanah Kalimantan. Selanjutnya Muhammad Yusuf merantau ke Sumatera, hingga beliau meneruskan perantauannya ke luar negeri, iaitu ke Saigon dan Kemboja. Di Kampung Melayu, Kemboja, Muhammad Yusuf berkahwin lagi. Beliau seorang yang berpengalaman dalam perkahwinan. Diriwayatkan, sepanjang hidupnya Muhammad Yusuf pernah berkahwin sebanyak empat puluh kali. Isterinya ke empat puluh yang berasal dari Kemboja itulah yang dibawanya pulang ke Kalimantan Barat. Di Pontianak, Muhammad Yusuf membuka tanah perkebunan getah yang sangat luas. Setelah usahanya menjadi, diberinya nama kampung itu sebagai ``Kampung Saigon''. Akhirnya beliau sendiri terkenal dengan panggilan Yusuf Saigon dan hilanglah nama Banjarnya. Oleh itu ramai orang menyangka Muhammad Yusuf adalah orang Saigon bukan orang Banjar.INSTITUSI PENDIDIKANKedua-dua anak Muhammad Thasin al-Banjari yang tersebut di atas, iaitu Muhammad Yusuf dan Muhammad Arsyad Pontianak, setelah mereka melihat kesuburan pohon-pohon getah hasil usaha gigih dan susah payah mereka sendiri, bangkitlah kembali cita-cita untuk meneruskan perjuangan moyang mereka, iaitu Syeikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari yang sangat masyhur itu. Mereka berdua beriktikad, bahawa tiada satu perjuangan pun yang lebih mulia, dapat menyelamatkan seseorang sama ada di dunia mahu pun akhirat, melainkan perjuangan menyebarkan ilmu-ilmu yang diajarkan oleh para nabi dan rasul Allah. Bahawa Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad s.a.w., nabi dan rasul akhir zaman, tidak syak lagi adalah satu-satunya agama yang wajib diperjuangkan oleh setiap insan Muslim. Urusan mencari dana untuk kepentingan umat Islam ditangani oleh Muhammad Yusuf, sedangkan untuk propaganda dan dakwah dilakukan oleh saudaranya, Muhammad Arsyad.Cita-cita kedua-dua adik beradik itu dikabulkan oleh Allah, kerana dalam tahun 1925 M. datanglah seorang pemuda yang alim dari Ketapang bernama Abdus Shamad yang mendapat pendidikan di Madrasah Shaulatiyah, Mekah. Salah seorang guru beliau di Madrasah Shaulatiyah, Mekah ialah Tengku Mahmud Zuhdi bin Abdur Rahman, yang kemudian dikenali sebagai Syeikhul Islam di Kerajaan Selangor. Abdus Shamad ditampung oleh Muhammad Yusuf Saigon, lalu didirikanlah pondok-pondok tempat tinggal para pelajar, ketika itu berdirilah Pondok Pesantren Saigoniyah yang dianggap sebagai pondok pesantren yang pertama di Kalimantan Barat. Sungguhpun demikian, sebenarnya sistem pendidikannya bukan sistem pondok, kerana ia juga mempunyai bangku-bangku tempat duduk para pelajar. Dikatakan sebagai pondok pesantren yang pertama di Kalimantan Barat hanyalah kerana di Pondok Pesantren Saigoniyah yang pertama sekali terdapat pondok-pondok tempat tinggal para pelajar yang dimodali oleh Muhammad Yusuf Saigon. Ada pun pengajian pondok selain itu ialah Dar al-'Ulum yang diasaskan oleh Abdur Rahman bin Husein al-Kalantani, murid Tok Kenali. Pengajian pondok beliau terletak di Kampung Terusan, Mempawah. Hanya pondok pengajian inilah satu-satunya pondok pengajian tanpa kelas dan tanpa bangku, sistem pendidikannya sama dengan di Patani, Kelantan, Kedah dan Pulau Jawa. Dalam tahun 1975, beberapa orang kader Pondok Pesantren Saigoniyah dan Dar al-'Ulum bergabung, sama-sama mengajar di Pondok Pesantren Al-Fathaanah di Kuala Mempawah. Oleh itu bererti kelanjutan daripada kedua-dua institusi yang tersebut, masih berjalan terus sampai sekarang.Kader-kaderPondok Pesantren Saigoniyah banyak mengeluarkan kader-kader yang mengajar di beberapa tempat di Kalimantan Barat tetapi sekarang hampir semuanya telah meninggal dunia. Pondok Pesantren Saigoniyah hilang atau tenggelam namanya akibat perang dunia yang kedua, tentera Jepun sangat ganas di Kalimantan Barat. Setelah Jepun kalah, nama itu tidak muncul lagi, nama baru yang muncul dalam tahun 1977 ialah Madrasah Al-Irsyad. Nama baru ini diberikan bertujuan mengabadikan nama Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari dan nama keturunan beliau, iaitu Muhammad Arsyad. Beliau adalah satu-satunya ulama yang dihormati di Kampung Saigon ketika itu.Memandangkan institusi-institusi pendidikan pondok di beberapa tempat di Pulau Jawa mencapai kemajuan, sebaliknya di tempat-tempat yang lain termasuk di Malaysia mengalami kemerosotan, bahkan ada yang hanya dikenang namanya saja, rasanya perlulah insan-insan yang sedar dan insaf berjuang menghidupkannya kembali. Ini kerana sistem pengajian pondok satu ketika dulu diakui oleh ramai pihak sebagai institusi yang mencerdaskan umat Melayu sejagat. Dengan perkembangan dunia yang serba canggih dan moden, institusi pondok perlu canggih dan moden juga. Pondok Pesantren Saigoniyah yang satu ketika dulu pernah terkenal di Kalimantan Barat, bahkan menjadi dipuji oleh masyarakat Banjar di mana saja mereka berada, sekarang telah tiada. Kita mengharapkan pejuang-pejuang pendidikan sistem pondok dunia Melayu tetap berfikir dan berusaha ke arah sesuatu yang hilang akan ada gantinya.Sebagaimana kita ketahui, Muhammad Yusuf Saigon, yang berperanan dalam pembinaan Pondok Pesantren Saigoniyah, adalah salah seorang keturunan Syeikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari. Perlu juga kita ketahui, dalam zaman yang sama keluarga ini juga menjalankan aktiviti serupa di tempat-tempat lainnya di dunia Melayu, bahkan termasuk juga Mekah. Sebagai contoh Mufti Abdur Rahman Shiddiq al-Banjari mengasaskan pengajian pondok di Parit Hidayat, Sapat, Inderagiri Hilir, Sumatera. Tuan Husein Kedah al-Banjari mengasaskan beberapa tempat pendidikan sistem pondok di Malaysia. Beliau memulakan aktivitinya di Titi Gajah, Kedah, selanjutnya di Pokok Sena, Seberang Perai, Pulau Pinang yang dikenali dengan Yayasan Pengajian Islam Madrasah Al-Khairiah.Selain institusi pendidikan di Pontianak, Kalimantan Barat, Sapat, Inderagiri dan Malaysia sebagaimana yang disebutkan di atas, masih banyak lagi institusi pendidikan keluarga ulama Banjar tersebut di tempat-tempat lain, sama ada di Banjar mahu pun di Pulau Jawa. Di Bangil, Jawa Timur ada pondok pesantren yang diasaskan keluarga ini, seperti Pesantren Datuk Kelampayan. Pondok tersebut diasaskan oleh al-`Alim al-Fadhil Kiyai Haji Muhammad Syarwani Abdan al-Banjari. Datuk Kelampayan adalah gelaran untuk Syeikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari kerana beliau dimakamkan di Kelampayan. Di Dalampagar (Banjar) sekurang-kurangnya terdapat dua buah institusi pendidikan yang diasaskan oleh keluarga ini, demikian pula di Teluk Selong, Kampung Melayu dan lain-lain. Dua buah madrasah di Dalampagar diberi nama Madrasah Sullam Al-'Ulum dan Madrasah Mir'ah ash-Shibyan. Yang di Teluk Selong diberi nama Madrasah Sabil Ar-Rasyad. Yang di Sungai Tuan diberi nama Madrasah Al-Irsyad.Yayasan yang diasaskan oleh keluarga ulama Banjar tersebut juga terdapat di beberapa tempat, seumpama Yayasan Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari. Yayasan terbentuk dalam rangka haul ulama tersebut yang ke 160 kali oleh panitia (jawatan kuasa) pada 30 November 1967, hari kewafatan beliau yang jatuh pada 7 Syawal 1387 H/7 Januari 1968 M, diadakan di Kompleks Kubah Kelampayan, Kalimantan Selatan. Guru agama dalam keluarga ulama Banjar ini bernama Kiyai Haji Muhammad Saman bin Muhammad Saleh (lahir 3 November 1919) yang telah berhasil mengasaskan Yayasan Pendidikan dan Pengembangan Ilmu Makrifatullah wa Makrifatur Rasul Nurul Islam di Banjar dan sejak tahun 1972 telah berhasil mengajar dan berdakwah di negeri Sabah. Ada beberapa orang besar dan tokoh terkemuka di Sabah yang merupakan murid beliau, di antaranya ialah Datuk Mohd Ainal bin Haji Abdul Fattah, PGDK, LLB, MBA (UMS), penyusun buku Dokumentasi Pilihan Raya Ke-11, cetakan pertama tahun 2005 yang lengkap dengan pelbagai gambar. Buku tersebut telah dilancarkan oleh Datuk Seri Abdullah Badawi, Perdana Menteri Malaysia pada hari Jumaat 22 Julai 2005 di Pusat Dagangan Dunia Putera (PWTC).PENULISANMuhammad Arsyad bin Haji Muhammad Thasin al-Banjari adalah seorang ulama. Beliau juga menyebarkan Islam dengan cara berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Sungguh pun beliau merantau namun sempat juga menghasilkan beberapa buah karangan. Di antaranya yang diberi judul Tajwid Fatihah. Karya beliau pula ialah Tajwid al-Quran, diselesaikan di Pontianak, hari Isnin, 8 Ramadan 1347 H. Cetakan pertama kedua-dua karya tersebut dicetak oleh Mathba'ah Al-Ahmadiah, 82 Jalan Sultan, Singapura, 29 Jamadilawal 1348 H. Menurut keterangan anak beliau, Fauzi Arsyad masih ada beberapa buah karangan Muhammad Arsyad, ayahnya itu, di antaranya ialah Ilmu Ushul Fiqh. Dengan sangat disesali saya hanya memperoleh dua judul yang tersebut di atas saja, ketika saya menyusun buku Syeikh Muhd. Arsyad Al-Banjari Matahari Islam (1402 H/1982 M) beliau berjanji akan membongkar kitab-kitab yang ada dalam simpanan untuk mendapatkan semua karangan ayahnya, namun hingga beliau meninggal dunia karangan-karangan yang dimaksudkan gagal diperoleh.Ilmu Ushul Fiqh termasuk salah satu ilmu yang tidak banyak ditulis dalam bahasa Melayu, Prof. Dr. Hamka menulis, ``Orang pertama menulis Ilmu Ushul Fiqh dalam bahasa Melayu ialah Dr. Haji Abdul Karim Amrullah yang diberinya judul Sullamul Ushul Yurqabihi Samma'u Ilmul Ushul, selesai ditulis pukul 6.30 pagi, hari Sabtu, 24 Muharam 1333 H atau 12 Disember 1914 M di Jambatan Besi, Padang Panjang.'' Jika ushul fiqh karya Muhammad Arsyad bin Haji Muhammad Thasin dapat ditemui tentu kita dapat membandingkannya dengan karya ayah atau orang tua Buya Hamka itu. Kemungkinan karya ulama keturunan Banjar itu lebih dulu atau pun jika terkemudian rasanya dalam jarak tahun yang tidak begitu jauh. Kerana kedua-dua ulama yang berasal dari Banjar dan Minangkabau itu menjalankan aktiviti pendidikan, dakwah dan penulisan adalah dalam tahun-tahun yang bersamaan.

Dato Seri Dr Haji Harussani bin Haji Zakaria, MUFTI KERAJAAN PERAKA, MALAYSIA

BIODATA
Beliau dilahirkan di Parit Tok Ngah, Tanjung Piandang, Parit Buntar, Perak . Isterinya Datin Seri Hajjah Ainon binti Abdul Ghani. Anak 4 orang. Tinggal di 109, Jalan Abdul Hamid, Kampung Melayu, Sungai Rapat, 31350 Ipoh, Perak.
PENDIDIKAN
1960 – 1964 : Diploma Pendidikan, Sijil Tertinggi Kolej Islam Malaya , Klang, Selangor
1959 – 1960 : Kuliah Al-Attas, Johor Bharu, Johor
1956 – 1959 : Sekolah Idrisiah, Kuala Kangsar, Perak
Anglo Chinese School, Parit Buntar, Perak
Sekolah Melayu Kampung Kedah, Parit Buntar, Perak
Kursus pendedahan di Muslim College of London, United Kingdom (10 Januari – 29 Jun 1989)
JAWATAN
1992 – Sekarang : Mufti Perak, Jabatan Mufti Negeri Perak
1985 – 1992 : Mufti Kerajaan Negeri Perak, Jabatan Agama Perak
1973 –1985 : Kadi Besar, Jabatan Agama Pulau Pinang
1970 – 1984 : Pensyarah Sambilan, Sekolah Latihan Pergigian Pulau Pinang
1968 – 1978 : Pensyarah Sambilan, [[Maktab Perguruan Persekutuan Pulau Pinang, Gelugor, Pulau Pinang.
1967 – 1973 : Kadi, Jabatan Agama Pulau Pinang
1964 – 1967 : Cawangan Khas, Kementerian Dalam Negeri
KHIDMAT MASYARAKAT
Ahli Majlis Mesyuarat Kerajaan (MMK) Negeri Perak Darul Ridzuan (Oktober 2000 – sekarang)
Pengerusi Jawatankusa Syariah Negeri Perak Darul Ridzuan
Pengerusi Jawatankuasa Penapisan Bahan-Bahan Terbitan Berunsur Islam
Ahli Lembaga Pengarah Lembaga Teks Al-Quran (KDN – Timbalan Pengerusi)
Ahlim Majlis Fatwa Kebangsaan
Ahli Lembaga Pengarah Perbadanan Kemajuan Ekonomi Islam Negeri Perak
Ahli Majlis Agama Islam dan Adat Melayu Perak
Ahli Lembaga Pengarah IDC Urus Ladang Sdn. Bhd. (Anak Syarikat Perbadanan Kemajuan Ekonomi Islam Perak) Perak Darul Ridzuan
Ahli Lembaga Pengarah IDC Urus Niaga Sdn. Bhd. (Anak Syarikat Perbadanan Kemajuan Ekonomi Islam Perak) Perak Darul Ridzuan
Ahli Institut Kefahaman Islam Malaysia (IKIM)
Ahli Majlis Pengawasan Syariah Takaful Nasionl Sdn. Bhd.
Yang DiPertua Persekutuan Seruan Islam Negeri Perak
Pengerusi Lembaga Pengelola Kolej UNISMA
Pengerusi Jawatankuasa Khas Penyelaras Dakwah dan Pembelajaran Negeri
Ahli Dewan Negara Negeri Perak
Ahli Tetap Lembaga Pengarah Kolej Islam Darul Ridzuan
Ahli Jawatankuasa Majlis Keutuhan Negeri Perak Darul Ridzuan
Penceramah jemputan di masjid-masjid dan institusi agama di seluruh negara.
Panel jemputan dalam forum-forum agama anjuran jabatan-jabatan kerajaan dan kementerian-kementerian dalam dan luar negara.
AKTIVITI AKADEMIK
Pesidangan Ulama’ Nusantara : Islam Di Alaf Baru : Menggaris Agenda Alaf Baru (26 November 1998)
Seminar Pemindahan Ginjal dan Cabaran dan Kemajuan Yang Dihadapi Islam di Rantau Ini (6 – 8 Mei 1994, Singapura)
Dialog Agama di antara penganut Islam, Yahudi dan Kristian, Bendor, Jerman (1989)
Ceramah dan dialog bersama pelajar-pelajar di Washington, Amerika Syarikat (1996)
Lawatan sambil belajar ke Negara-negara Timur Tengah dan Eropah anjuran Lembaga Perancang Keluarga Negara (1 – 9 Mac 1977)
Muzakarah Ulama’ Nusantara : Islam Di Alaf Baru : Menggaris Agenda Alaf Baru ( 26 November 1998)
PENERBITAN
Irsyad Hukum (Menyentuh Persoalan Semasa)
Muammalah Hidup Islam – (Kompilasi 13 Tajuk Kertas-kerja) (1996)
Syaitan Musuh Insan, Tahun (4) Siri (17) (1398/1978)
Hukum-Hukum Perkahwinan (1999)
Amalan Di Bulan Ramadhan Mengikut Al-Quran dan As-Sunnah (1998)
Rukyah dan Hisab (2000)
Ibadah Qurban (1999)
KERTAS KERJA
Siapa Kita
Kesantunan Yang Mulia
Kerja Sebagai Aktiviti Ibadat
Peranan Da’I Menuju Ke Wawasan 2020
Kontrasepsi dan Perancang Keluarga
Islam Pada Pandangan Orang Bukan Islam Di Malaysia
Zakat Membawa Berkat Mensyukuri Ne’mat
Batul Mal, Zakat dan Wakaf : Hukum dan Pelaksanaan
Islam dan Cabarannya Masa Kini
Dakwah Masa Kini dan Cabarannya
Penerapan Nilai-Nilai Islam
Pemindahan Ginjal
Peranan dan Tanggungjawab Ulama’
ANUGERAH
2001 : Darjah Kehormat Doktor Syariah (gelaran Dr.) oleh Tuanku Canselor Universiti Malaya, DYMM Paduka Seri Sultan Perak
1999 : Seri Paduka Mahkota Perak (SPMP) oleh DYMM Paduka Seri Sultan Perak
1994 : Jaksa Setia Mahkota oleh DYMM Seri Paduka Baginda YDP Agong
1986 : Darjah Paduka Mahkota Perak (DPMP)oleh DYMM Paduka Seri Sultan Perak
1978 : Ahli Mangku Negara (AMN) oleh Kerajaan Negeri Pulau Pinang
1976 : Pingakt Kelakuan Terpuji (PKT) oleh Kerajaan Negeri Pulau Pinang
1975 : Pingat Jasa Kebaktian (PJK)oleh Kerajaan Negeri Pulau Pinang

DATO HAJI IBRAHIM BAHARON, MANTAN MUFTI SELANGOR DARUL IHSAN, MALAYSIA

BIODATA
Dato' Mufti Haji Ishak bin Baharom (1 Januari 1928 - 30 Januari 2008) merupakan bekas mufti negeri Selangor Darul Ehsan dan juga merupakan seorang pendakwah bebas. Beliau telah dilahirkan pada 1 Januari 1928 di Kampung Batu 22, Kanchong Darat, Banting, Selangor. Ayahnya Haji Baharom bin Jaafar , berketurunan Banjar, berasal dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Manakala ibunya Hajah Fatimah bt Haji Junid berasal dari Melaka. Beliau mempunyai 5 orang adik-beradik. Beliau mendirikan rumahtangga pada 1963 dengan Datin Hajah Maznah bte Yusuf yang berasal dari Manong, Kuala Kangsar, Perak. Hasil perkahwinan ini, mereka mendapat 3 anak.
PENDIDIKAN
Dato Haji Ishak baharom bersekolah di Sekolah Melayu Kanchong Darat dari 1935 - 1941. Semasa pemerintahan Jepun, beliau tidak dapat meneruskan persekolahan selama 2 tahun. Pada tahun 1945, beliau menyambung pelajaran di di Sekolah Menengah Arab Madrasah Bukit Mertajam, Seberang Perai , Pulau Pinang. Seterusnya melanjutkan pelajaran di Darul Ulum, India.
MUFTI
Beliau menjawat jawatan Mufti Selangor pada 16 Ogos 1985 dan disahkan oleh Sultan Selangor. Jawatan terakhir Allahyarham sebelum dilantik sebagai Mufti Selangor pada 1985 ialah Mudir Sekolah Menengah Agama Batu 38 Sabak Bernam. Beliau menjawat jawatan mufti selama 12 tahun (1985-1997).
Beliau bekerjasama dengan para peguam syarie untuk memantapkan undang-undang Islam terutama undang-undang jenayahn Islam di Selangor. Timbalan Presiden Persatuan Peguam-Peguam Muslim Malaysia, Muhammad Burok melihat inisiatif beliau mendapat sambutan masyarakat Islam.
Pada 1997 berikutan penegasannya bahawa pertandingan ratu cantik adalah haram, Allayarham telah 'dipecat' daripada jawatan mufti kerana perkara tersebut menjadi isu politik. Kerajaan negeri Selangor menggunakan istilah 'tidak memperbaharui kontrak' beliau yang akan tamat pada Oktober 1997. Ketika itu umur beliau 70 tahun.
Tindakan tegas beliau ini disifatkan sebagai suara berani seorang mufti di Malaysia. Presiden Jemaah Islah Malaysia (JIM), Zaid Kamaruddin menyifatkan beliau sukar dicari ganti.
Sungguhpun Allahyarham tidak lagi menjalankan tugasnya sebagai mufti, perjuangannya dalam menyampaikan syiar Islam tetap diteruskan sebagai penceramah dan pendakwah bebas.
PERTANDINGAN RATU CANTIK
Perbuatan mendedahkan aurat tidak kira lelaki atau perempuan memang dilarang dalam agama Islam. Enakmen Pentadbiran Perundangan Islam negeri Selangor mengenai fakwa tentang penyertaan wanita Islam dalam pertandingan ratu cantik sebenar telah dua tahun diwartakan mengikut Warta Kerajaan Negeri Selangor Jil. 48 No. 10 bertarikh 11 Mei 1995 ["Adalah haram bagi wanita Islam menyertai apa-apa jenis pertandingan ratu cantik" - Fatwa itu dibuat pada 28 April 1995 (JAI. Sel. 8014/7 Jilid III; P.U. Sel. 2780)]. [1] Media menyiarkan bantahan orang ramai terhadap tindakan menggari tiga gadis Melayu yang menyertai pertandingan ratu cantik itu, Pertandingan itu telah diadakan pada 13 Jun 1997 di di Classic Ballroom, Hotel Holiday Villa, Subang Jaya dan pengumuman larangan orang Islam menyertai sukan bina badan oleh Mufti Sarawak. Ahmad Lutfi Othman telah mengupas isu ini dalam buku bertajuk "Mufti lawan Mahathir". [2]
PENCERAMAH PAS
Sumbangan idea dan pemikirannya berterusan apabila Allahyarham bergiat aktif dalam PAS bermula pada 2003 setelah dilantik ahli Majlis Syura' Ulama PAS bagi tempoh dua penggal iaitu 2003-2005 dan 2005-2007.
Beliau telah dijemput menberikan penerangan tentang kesyumulan Islam di pentas-pentas politik PAS.
MENINGGAL DUNIA
Pada 30 Januari 2008, Dato' Haji Ishak, 80 tahun, telah meninggal dunia akibat pendarahan dalam kepala pada jam 2.30 pagi di Hospital Sungai Buloh. Beliau telah dimasukkan ke hospital tersebut pada pukul 6 petang . Timbalan Pengarah Perubatan Hospital Sungai Buloh, Dr. Khalid Ibrahim menjelaskan bahawa beliau tidak sedarkan diri dan koma akibat pedarahan dalam kepala.[3]Jenazah beliau dibawa ke rumah beliau di No 194 Jalan Tun Sambanthan Taman Sri Andalas Klang. Kemudian dikebumikan pada 31 Januari 2008 di kompleks Makam di Raja, Selangor.
Antara pemimpin yang hadir ialah Setiausaha Agung PAS, Dato' Kamarudin Jaffar; Naib Presiden PAS, Ustaz Ahmad Awang; AJK PAS Pusat, Dr Dzulkifly Ahmad dan Dr Syed Azman ImageSyed Nawawi; Timbalan Pesuruhjaya PAS Selangor, Dr Osman Sabran; Ketua Muslimat PAS Pusat, Ustazah Nuridah Mohd Salleh; Timbalannya, Wan Hasrina Wan Hassan; dan Ketua Penerangan, Salbiah Abd Wahab.
Turut hadir ialah Presiden KeADILan, Datin Seri Dr Wan Azizah Wan Ismail, Ahli MPT KeADILan, Ustaz Badrulamin Baharon; Ketua Penerangan Umno, Tan Sri Muhammad Muhd Taib; dan Ketua Pengarah Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM), Dato' Wan Mohamad Sheikh Abd Aziz .
PETIKAN:
“Saya bukan lawan semua dengan mufti, tetapi mufti (Dato’ Ishak Baharom) yang semacam ini bukan mufti. Ulama’, macam-macam ulama’ ada. Kita pun tau. Ahmad Sabu pun ulama’ jugak, Mustapha Ali ulamak.” Takkan satu orang boleh mendakwa diri dia ulama dan kita mesti sembah dia- inilah waris nabi, bukan main senang. Masuk persatuan ulama’ jadi waris nabi. Syed-syed pun tak pernah berkata macam itu, yang kata dia keturunan nabi, keturunan sahabat-sahabat nabi - pun dia tak kata macam itu. Ini mana-mana tempat membuat dakwaan bahawa ‘ulama’ adalah waris nabi’. Mudah nak jadi waris nabi. Tak payah sapa pilih.” (Dr. Mahathir Mohamad, Majlis Tertutup Majlis Agama Kebangsaan, 1997).
“Tapi Mufti Selangor (Dato’ Ishak Baharom) raja pun nak suruh buang dia. Raja pun tak setuju dengan dia. I think you’d better take action. Call him up dan tell him that he has breached the government punya regulations that he must be terminated dan kita tak bagi tauliah pada dia. Walaupun dia bukan pegawai kerajaan, orang bersyarah berkenaan dengan agama tanpa tauliah, akan diambil tindakan.”(Dr. Mahathir Mohamad, Majlis Tertutup Majlis Agama Kebangsaan, 1997).
“Cara ini meninggalkan kesan buruk sampai ke bila-bila kepada pihak yang terlibat termasuk keluarga mereka. Orang-orang ini tidak faham apa yang dikehendaki oleh agama. Inilah masalahnya apabila kita memberi kuasa kepada orang-orang yang tidak tahu menggunakan kuasa”.(Mahathir Mohamad, Utusan Malaysia, 19 Julai)
“Kita hormati Mufti pasal sesuatu peraturan yang dibuatnya, tetapi kalau Mufti mengambil tindakan tidak mengikut Islam, takkan kita tak boleh tegur. Ini pegawai yang dibayar gaji oleh kerajaan yang dengan mudah menuduh orang itu murtad dan orang ini murtad” (Mahathir Mohamad, 1997, mengulas kenyataan Dato’ Ishak Baharom yang menyatakan mereka yang tidak setuju dengan fatwa larangan pembabitan gadis Islam dalam pertandingan ratu cantik boleh menjadi murtad)

Jumat, 13 Juni 2008

MAZHAB AL-ASY'ARIE

Tulisan ini adalah merupakan terjemahan dari salah satu bab didalam kitab Mafahim Yajibu an-Tushahhah karangan al-Allamah al-Muhaddits al-Habib as-Sayyid Muhammad bin ‘Alawi bin Abbas bin Abdul ‘Aziz al-Maliki al-Hasani. Terjemahan ini diambil dari http://www.mafahim-online.net/ dengan olahan ke bahasa Malaysia
Haqiqat ‘Asya’irah
Ramai kaum muslimin jahil (tidak mengetahui) mengenai madzhab al-‘Asya’irah (kelompok ulama pengikut madzhab Imam Abul Hasan al-‘Asy’ari) dan tidak mengetahui siapakah mereka, dan metode mereka dalam bidang aqidah. Lantaran dari itu, sebahagian dari mereka, tidak berhati-hati, melemparkan tuduhan bahawa golongan ‘Asya’irah sesat atau telah keluar dari Islam dan mulhid (menyimpang dari kebenaran) di dalam memahami sifat-sifat Allah
Kejahilan terhadap madzhab al-‘Asya’irah ini adalah faktor retaknya kesatuan golongan Ahl as-Sunnah dan terpecah-pecahnya kesatuan mereka, sehingga sebahagian golongan yang jahil memasukkan al-‘Asya’irah dalam kelompok golongan yang sesat . Saya tidak tahu, mengapa golongan yang beriman dan golongan yang sesat disamakan? Dan bagaimana glongan Ahl as-Sunnah dan golongan ekstrim mu’tazilah (Jahmiyyah) disamakan?
أَفَنَجْعَلُ ٱلْمُسْلِمِينَ كَٱلْمُجْرِمِينَ - مَا لَكُمْ كَيْفَ تَحْكُمُونَ
Patutkah Kami (berlaku tidak adil, dengan) menjadikan orang-orang Islam (yang taat), sama seperti orang-orang yang berdosa (yang kufur ingkar)? Apa sudah jadi kepada akal kamu? Bagaimana kamu menetapkan hukum (yang terang-terang salahnya itu)? (Surah al-Qalam: 35 – 36)
Al-‘Asya’irah adalah para pemimpin ulama yang membawa petunjuk dari kalangan ulama muslimin yang ilmu mereka memenuhi bahagian timur dan barat dunia dan disepakati oleh manusia sepakat atas keutamaan, keilmuan dan keagamaan mereka. Mereka adalah tokoh-tokoh besar ulama Ahl as-Sunnah berwibawa tinggi tang berdiri teguh menentang kepongahan dan kesombongan golongan mu’tazilah.
Dalam mengupas tentang golongan al-‘Asya’irah, Ibn Taimiyyah berkata:
والعلماء أنصار علوم الدين والأشاعرة أنصار أصول الدين – الفتاوى الجزء الرابع
Artinya: “Para ulama adalah pembela ilmu agama dan al-Asya’irah pembela dasar-dasar agama (ushuluddin) - (al-Fataawaa, juzu’ 4)Sesungguhnya mereka (penganut madzhab al-‘Asyar’irah) terdiri dari tokoh-tokoh hadits, fiqih dan tafsir dari kalangan tokoh imam yang utama (yang menjadi panutan dan sandaran para ulama lain) seperti:
Syaikhul Islam Ahmad ibn Hajar al-‘Asqalani رحمه الله, tokoh hadits yang tidak dipertikaikan lagi sebagai gurunya para ahli hadits, penyusun kitab Fathul Baari ‘ala Syarhil Bukhaari. Bermazhab ‘Asya’irah. Karyanya sentiasa menjadi rujukan para ulama’.
Syaikhul Ulama Ahl as-Sunnah, al-Imam an-Nawaawi رحمه الله, penyusun Syarh Shahih Muslim, dan penyusun banyak kitab yang masyhur. Beliau bermazhab ‘Asya’irah.
Syaikhul Mufassirin al-Imam al-Qurthubi رحمه الله penyusun tafsir al-Jaami’ li Ahkaamil Qur’an. Beliau bermazhab ‘Asya’irah.
Syaikhul Islam Ibnu Hajar al-Haitami رحمه الله, penyusun kitab az-Zawaajir ‘an al-Iqtiraaf al-Kabaa’ir. Beliau bermazhab ‘Asya’irah.
Syaikhul Fiqh wal Hadits al-Imam al-Hujjah wa ats-Tsabat Zakaaria al-Anshari رحمه الله Beliau bermazhab ‘Asya’irah.
Al-Imam Abu Bakar al-Baaqilani رحمه الله
Al-Imam al-Qashthalani رحمه الله
Al-Imam an-Nasafi رحمه الله
Al-Imam asy-Syarbini رحمه الله
Abu Hayyan an-Nahwi رحمه الله, penyusun tafsir al-Bahr al-Muhith.
Al-Imam Ibn Juza رحمه الله, penyusun at-Tashil fi ‘Uluumittanziil.
Dan lain-lain lagi, kesemuanya merupakan tokoh-tokoh ‘Asya’irah.
Seandainya kita menghitung jumlah ulama besar dari ahli hadits, tafsir dan fiqh yang bermazhab al-‘Asya’irah, maka keadaan tidak akan memungkinkan dan kita memerlukan beberapa jilid buku untuk merangkai nama para ulama besar yang ilmu mereka memenuhi wilayah timur dan barat bumi. Adalah salah satu kewajiban kita untuk berterimakasih kepada orang-orang yang telah berjasa dan mengakui keutamaan orang-orang yang berilmu dan memiliki kelebihan yakni para tokoh ulama, yang telah menabur khidmat mereka kepada syari’at Penghulu Para Rasul, Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم.Dimanakah lagi kebaikan yang kita harapkan sekiranya kita melemparkan tuduhan menyimpang daripada kebenaran dan sesat kepada para ulama besar kita dan para salafus sholeh? Bagaimana Allah akan membukakan mata hati kita untuk mengambil manfaat dari ilmu-ilmu mereka setelah kita beri’tiqad bahwa mereka berada dalam keraguan dan menyimpang dari jalan Islam?. Sungguh saya ingin mengatakan: “Adakah terdapat ulama masakini daripada kalangan doktor [penyandang ijazah PhD] dan cerdik pandai, mampu melakukan sepertimana yang dilakukan oleh Ibnu Hajar al-‘Asqalani dan al-Imam an-Nawawi رحمهماالله dalam berkhidmat terhadap sunnah Rasulullah صلى الله عليه وسلم yang suci? Adakah kita mampu untuk memberi khidmat terhadap sunnah Nabi صلى الله عليه وسلم sebagaimana yang dilakukan oleh kedua-dua ulama besar ini? Semoga Allah mengurniakan kepada mereka rahmat dan keredhaanNya. Lalu bagaimana kita boleh menuduh sebagai sesat mereka berdua[1] dan para ulama al-‘Asya’irah yang lain, padahal kita memerlukan ilmu-ilmu mereka?
Dan bagaimana kita boleh mengambil ilmu dari mereka jika mereka didalam kesesatan? Padahal al-Imam Ibnu Sirin رحمه الله pernah berkata:
إن هذا العلم دين فانظروا عمن تأخذون دينكم
Artinya: Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka perhatikan daripada siapa kalian mengambil agama kalian. Apakah tidak cukup bagi orang yang tidak sependapat dengan para imam di atas, untuk mengatakan, “Mereka rahimahullah telah berijtihad dan mereka salah dalam menafsirkan sifat-sifat Allah. Maka yang lebih baik adalah tidak mengikuti metode mereka.” Sebagai ganti dari ungkapan kita menuduh mereka telah menyimpang dan sesat lalu kita marah atas orang yang mengkategorikan mereka sebagai ahlussunnah. Dan seandainya al-Imam an-Nawawi, al-‘Asqalani, al-Qurthubi, al-Fakhrurrazi, al-Haitami dan Zakaria al-Anshari dan ulama berwibawa yang lain tidak dikategorikan sebagai Ahlussunnah Wal Jama’ah, lalu siapakah mereka yang termasuk Ahlussunnah Wal Jama’ah?.
Sungguh, dengan tulus kami mengajak semua pendakwah dan mereka yang bergiat di medan dakwah Islam agar bertaqwa kepada Allah dalam urusan ummat Muhammad صلى الله عليه وسلم, khususnya terhadap tokoh-tokoh ulama dan para fuqaha’nya. Kerana, ummat Muhammad صلى الله عليه وسلم sentiasa berada dalam kebaikan hingga hari kiamat. Dan tidak ada kebaikan bagi kita jika tidak mengakui kedudukan dan keutamaan para ulama kita sendiri.
_____________________________________________________
Notakaki:
[1] Beberapa kenyataan ulama Wahabi yang mengatakan bahwa aqidah Imam Ibn Hajar, Imam an-Nawawi dan para ulama ‘Asya’irah terkeluar dari aqidah Ahl as-Sunnah wa al-Jamaah. Abu Zahrah petik dari blog al-Fadhil Ustaz Zamihan dan al-Fadhil Ustaz Abu Syafiq Antaranya sebagai contoh [untuk lebih jelas sila layari blog berkenaan]:
- Kitab Dakwatut Tauhid oleh, Dr Syaikh Muhammad Khalil Harras (Pemimpin Anshar as-Sunnah, Mesir), Cetakan Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, Lubnan, tanpa tarikh, beliau mengatakan: “Dan makruf, sesiapa yang terlibat dengan mentakwilkan nash-nash mutasyabihat dari golongan ‘Asya’irah seperti Ibn Fawrouk sebagaimana (terdapat) di dalam kitabnya al-Takwilaat” kemudian diikuti selepas itu (oleh) ulama mutaakhir al-‘Asya’irah seperti Imam al-Harain, al-Ghazali, al-Razi, al-Hulaimi al-Aamidi, Ibn A’qil, Ibn Jauzi dan lain-lain. Dan sesungguhnya telah sesat dalam bab ini (mentakwil). Kebanyakkan ualam ‘Asya’irah yang mana mereka mempunyai ilmu yang mendalam, ahli ‘ibadah dan menghafaz as-Sunnah seperti Imam an-Nawawi, Izzuddin Abdussalam dan selain dari keduanya”
- Kitab Min Masyahir al-Mujaddidin Fi al-Islam: Shaikh al-Islam Ibn Taimiyyah dan Shaykh al-Islam Muhammad bin Abd al-Wahhab, Dr. Sholeh bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan, 1408H, Cetakan: Riasah al-Ammah al-Idarat al-Buhuth al-Alamiyyah Wa al-Ifta’ Wa al-Dakwah Wa al-Irsyad, Riyadh, Arab Saudi, Perenggan Ke-5: “Golongan al-‘Asya’irah dan al-Maturidiyyah bertentangan dengan (metodologi) para shahabat, al-Tabi’in dan Imam Mazhab Empat dalam kebanyakkan masalah i’tiqad (‘aqidah) dan usul agama. Lantaran itu mereka tidak berhak untuk di gelar Ahli Sunnah Wal Jamaah. Mereka (‘Asya’irah dan al-Maturidiyyah) bukan sekadar bertentangan dengan Syeikh al-Islam [Ibn Taimiyyah] sahaja. Tetapi mereka turut menyalahi umat Islam dan para ulama’ yang berjalan (berpegang) kepada metodologi al-Salaf.”
- Kitab Fath al-Majid Syarh Kitab al-Tauhid, Syeikh Abd Rahman bin Hassan bin Muhammad Abd Wahhab, : Syeikh Abd Aziz bin Abdullah bin Baz (Bekas Mufti Arab Saudi), Cet : Pertama, 1992/1413H, Maktabah al-Fayha’ & Maktabah Dar Salam : Riyadh, Perenggan ke-5 : “Sesungguhnya Jahm bin Sofwan dan pengikutnya mendakwa tiada dalil yang membuktikan wujudnya sifat yang berdiri (melengkapi) Dzat Allah Ta’ala. Dan golongan yang mengikut mereka atas pendapat itu ialah puak-puak dari Muktazilah, Asya’irah dan selain mereka. Maka dengan sebab itu mereka dikafirkan oleh kebanyakkan dari golongan Ahl Sunnah.”
- Syeikh Abdullah Sa’diy al-Ghamidiy al-Abdaliy juga menulis satu kitab berjudul al-Aktha’ al-Asasiyyah fi al-Aqidah Wa Tauhid al-Uluhiyyah Min Kitab Fath al-Bariy Ta’lif Ahmad bin Hajar al-Asqalaniy (Kesalahan Asas Tentang Akidah dan Tauhid Uluhiyyah dari Kitab Fath al-Bariy karangan Ibn Hajar al-Asqalaniy).
- Kitab Liqa’ Bab al-Maftuh Ma’aa Fadhilah asy-Syaikh Muhammad Sholeh al-Uthaimin, yang diselia Dr Abdullah bin Muhammad bin Ahmad al-Thayyar, Cetakan Dar al-Wathan, Riyadh.
Soalan penanya : “Sbgmana kita menjadikan al-Nawawi dan Ibn Hajar al-Asqalani kedua-duanya bukan dari Ahli Sunnah Wal Jamaah?
Jawapan : “Berdasarkan kepada apa yang dimazhabkan (diputuskan) pendapat mereka di dalam isu-isu perbahasan Nama-nama dan Sifat-Sifat Allah, kedua-dua mereka bukan dari Ahli Sunnah Wal Jamaah.”
Soalan susulan : “Secara mutlak, mereka bukan dari Ahli Sunnah Wal Jamaah?
Jawapan : “Kita tidak menjadikannya secara mutlak. Saya beritahu anda bahawa barangsiapa yang menyanggahi golongan al-Salaf dalam memahami Sifat Allah tidak diberi gelaran mutlak bahawa ia bukan dari Ahli Sunnah Wal Jamaah. Bahkan ditaqyidkan…hingga bila dikatakan dia (seseorang itu) Ahli Sunnah Wal Jamaah (mungkin) dari sudut feqhiyyah contohnya. Adapun jika tareqat (metodologinya) itu bid’ah..ia bukan dari Ahli Sunnah Wal Jamaah.”

SUKU BANJAR DI MALAYSIA

MukaddimahMasyarakat Malaysia terkenal kerana sifat majmuknya. Salah satugolongan etnik yang besar ialah orang Banjar. Seperti golongan etniklain, orang Banjar juga merupakan satu golongan yang kompleks danmempunyai sejarah yang tersendiri di negara ini. Orang Banjar adalahtergolong dalam rumpun bangsa Melayu, walaupun begitu, tidak banyakyang diketahui tentang masyarakat ini. Keadaan ini agak berbeza denganorang Jawa yang lebih dikenali walaupun kedua-dua masyarakat inimempunyai latar belakang penghijrahan yang hampir sama dan berasaldari negara yang sama iaitu Indonesia. Satu hal yang agak menarikjuga, kedua-dua masyarakat tersebut tinggal di kawasan petempatanyang berdekatan di Malaysia, contohnya di daerah Batu Pahat, Johor,daerah Sabak Bernam dan Tanjung Karang, Selangor dan daerah BaganDatoh di Perak. Sehingga kini, belum ada penulisan yang benar-benarlengkap tentang sejarah kedatangan atau perkembangan masyarakattersebut di negara ini, walaupun sumbangan mereka dalam bidang sosial,ekonomi dan politik bangsa Melayu khasnya di negara ini secarakeseluruhannya tidak kurang pentingnya.Asal-usul kedatangan orang Banjar ke Tanah MelayuOrang Banjar yang datang ke Tanah Melayu adalah berasal dariKalimantan, Indonesia, di kawasan selatan Basin Barito, terutamasekali dari daerah Banjar Masin, iaitu pusat bandar daerah itu.Kawasan ini adalah terletak di bahagian tenggara Borneo. Di antaradaerah-daerah utama tempat asal orang Banjar tersebut ialah daridaerah Balangan, Amuntai, Alai, Hamandit, Margasari dan Martapura.Sebahagian dari mereka juga berasal dari Sumatera Tengah di kawasanBukit Tinggi dan Sepat. Daerah-daerah tersebut merupakan kawasanpenanaman padi. Oleh demikian, mereka yang berhijrah ke Tanah Melayuadalah merupakan petani-petani yang mahir dalam penanaman padi. Disamping itu, pekerjaan khusus seperti melukis, tukang permata danberniaga juga ditekankan oleh mereka. Pekerjaan inilah yang membezakanmereka dari suku-suku bangsa lain di daerah orang-orang Dayak yangtinggal lebih ke utara barat Banjar Masin. Masyarakat ini jugadikenali dengan kemahiran membuat peralatan dari besi, sepertiperalatan pertanian dan senjata. Kebanyakan mereka suka tinggal dilembah beberapa buah sungai seperti di sepanjang lembah Sungai Baritodari Banjar Masin hingga ke Asuntai dan Tanjung di utara.Tarikh migrasi masyarakat ini ke Tanah Melayu tidak dapat dipastikan,tetapi menurut Afred Bacon Hudson seorang pengkaji orang Banjar,migrasi ini bermula dalam pertengahan abad ke 19. Penempatan yang awalsekali dapat dikesan ialah di Batu Pahat, Johor. Pada masa itu, merekasering berulang alik berdagang dan berniaga kelapa kering melaluiSiak, Bentan, Inderagiri terus ke Batu Pahat dan Singapura. Selaindaripada itu Bagan Datoh di Perak juga dikatakan tempat pertapakanawal masyarakat ini di Tanah Melayu.Dari Batu Pahat, mereka berpecah ke kawasan lain. Mereka masih lagimanjalankan aktiviti yang serupa seperti bertani, berkebun getah,kelapa dan sebagainya. Pada masa kini, masyarakat Banjar bolehdidapati di beberapa kawasan pantai barat, terutamanya di kawasanpenanaman padi seperti di daerah Kerian, Sungai Manik dan Bagan Datohdi Perak, Sabak Bernam dan Tanjong Karang di Selangor serta Batu Pahatdi Johor. Di Sabah pula, orang Banjar terdapat di Sandakan, Tenom,Keningau dan Tawau. Orang Banjar ini pula terbahagi kepada beberapapuak dan di antara yang terbesar ialah Tanjung dan Kalua dari daerahBalangan, Amuntai dari daerah Amuntai, Barabai dari daerah Alai,Nagara dan Kandangan dari daerah Hamandit, Rantau dari daerahMargasari dan Martapura dari daerah Martapura. Masyarakat ini seringmengidentifikasikan diri mereka berdasarkan daerah tempat asal-usulmereka di Tanah Banjar.Selain daripada faktor perdagangan, kemiskinan yang mencengkamkehidupan orang Banjar di tempat asal mereka juga telah mendorongpenghijrahan ke Tanah Melayu. Keadaan mereka di Tanah Banjar agaksukar kerana tanah pertanian mereka sering menghadapi ancaman binatangbuas. Faktor ini ditambah lagi dengan kemelaratan yang dihadapi dibawah pemerintahan penjajah Belanda yang terlalu menindas masyarakattempatan dengan pelbagai cukai dan peraturan yang tidak munasabah. Disamping itu, mereka tertarik dengan kemakmuran kehidupan di TanahMelayu pada masa itu yang dikhabarkan oleh pedagang-pedagang yangberulang-alik ke Tanah Melayu.Pihak penjajah British di Tanah Melayu pula amat menggalakkanpenghijrahan masyarakat dari Indonesia untuk membuka dan mengerjakankawasan pertanian yang baru kerana masyarakat tersebut amat terkenaldengan sifat tabah dan gigih dalam menghadapi cabaran hidup.Ciri-ciri awal orang Banjar di Tanah MelayuApa yang dimaksudkan dengan ciri-ciri awal ini ialah sosio-budayaorang Banjar pada tahap awal pertapakan mereka di tanah Melayu iaitusekitar pertengahan abad ke-19 sehingga pertengahan abad yang ke-20.Terdapat ciri-ciri yang dominan dan ketara pada masyarakat ini yangmembezakannya dengan masyarakat Melayu tempatan pada masa itu. Diantara ciri-ciri awal yang dapat diperhatikan dalam masyarakat inipada masa itu ialah, fahaman kesukuan, teguh pegangan agama dancarahidup sederhana, berani dan panas baran.Fahaman kesukuanPerkara ini adalah berkait rapat dengan keadaan mereka yang baruberhijrah dari Tanah Banjar ke Tanah Melayu yang masih asing bagimereka. Jadi, bagi memastikan kebajikan mereka terjaga, merekasentiasa tinggal dalam satu kelompok. Salah satu ciri terpenting wujudpada masyarakat tersebut pada masa itu ialah mendalamnya fahamankesukuan. Bagi mereka, orang-orang selain dari suku mereka dianggapsebagai 'orang luar'. Keadaan ini telah mempengaruhi pergaulan,perkembangan pemikiran dan seterusnya keperibadian mereka. Fahamkesukuan ini juga telah menjadikan masyarakat ini pada masa itusebagai sebuah masyarakat tertutup. Jarang-jarang benar berlakuperkahwinan di luar suku Banjar. Justeru itu, faktor ini telah dapatmengekalkan beberapa ciri-ciri keperibadian yang tersendiri masyarakatini. Contoh yang nyata ialah pengekalan bahasa pertuturan sehari-hariiaitu dialek Banjar dan kawasan tempat tinggal yang berkelompok.Teguh pegangan agama dan cara hidup sederhanaKebanyakan orang Banjar yang berhijrah ke Tanah Melayu adalah terdiridaripada mereka yang kuat pegangan agama Islam dan mengamalkan carahidup yang sederhana. Maka, tidak hairanlah bahawa masyarakat ini amatcondong terhadap perkara-perkara yang berkaitan dengan agama Islamdalam kehidupan seharian mereka.Keadaan ini ditambah lagi dengan corak pekerjaan mereka yang berbentukpertanian dan lokasi petempataan mereka yang agak terpencil daripadabandar, telah menyebabkan peluang untuk mereka mengikutikemudahan-kemudahan seperti pelajaran, kesihatan, dan lain-lain amatterhad. Perkembangan pendidikan secara formal yang wujud dalammasyarakat ini hanyalah berupa kelas membaca al-Quran, mempelajarihal-ehwal syariat Islam sama ada di sekolah-sekolah agama rakyatmahupun di madrasah-madrasah. Bagi golongan yang berkemampuan pula,mereka menghantarkan anak-anak mereka ke sekolah-sekolah arab mahupunpondok-pondok di tempat lain. Bagi yang lebih berkemampuan, merekajuga turut menghantar anak-anak mereka ke Tanah Suci Mekah untukmendalami ilmu agama. Amat kurang sekali yang menghantar anak-anakmereka ke sekolah-sekolah kerajaan mahupun ke sekolah Melayu keranamereka berpendapat mata pelajaran yang di ajar tidak sesuai dansemata-mata hal-ehwal duniawi sahaja. Begitu juga dengansekolah-sekolah Inggeris mereka khuatir anak-anak mereka akanterpengaruh dengan dakyah Kristian jika menghantar anak-anak merekabelajar di sekolah tersebut. Walaupun pada umumnya, fahaman sebeginiwujud dikalangan masyarakat Melayu yang lain, tetapi keadaan yangwujud dikalangan orang Banjar amat ketara sekali.Sebagai buktinya, sehingga awal tahun-tahun 60an, amat kurang sekalipegawai-pegawai kerajaan mahupun kakitangan yang berketurunan Banjar.Kalau pun ada, hanya pegawai-pegawai agama atau guru-guru agama.Ringkasnya mereka lebih berminat untuk bergiat dalam bidang-bidangyang bersangkutan dengan hal-ehwal agama Islam sahaja. Kesan lain yangdapat diperhatikan dan masih kekal sehingga kini ialah terdapatnyadengan banyak sekali sekolah-sekolah agama rakyat, madrasah mahupunpondok-pondok dikawasan-kawasan yang majoriti penduduknya orang Banjarseperti di daerah Kerian, Perak mahupun di daerah Sabak Bernam,Selangor.Keadaan kehidupan mereka juga amat sederhana, rumah mereka dikatakankosong kerana tidak mempunyai alat-alat perabut seperti kerusi, mejadan almari. Peralatan yang ada seperti tikar mengkuang yangdibentangkan ketika tetamu datang dan lain-lain perkakas yang mustahaksahaja.Satu hal yang agak menarik juga ialah, masyarakat ini tidak sukabekerja makan gaji dengan kerajaan kerana mereka lebih suka bekerjasendiri khasnya dalam bidang pertanian. Perkara ini juga berkaitdengan kebebasan untuk mereka membuat perkara-perkara sampingankhasnya untuk mendalami ilmu-ilmu keagamaan. Pekerjaan bertani khasnyapenanaman padi mempunyai ruang masa yang banyak dan bebas untuk merekamelakukan perkara-perkara tersebut seperti ketika menunggu musimmenuai dan seumpamanya. Kedudukan seseorang yang tinggi ilmu agamajuga amat dihormati dan mendapat tempat yang istimewa di kalanganorang Banjar. Nilai yang diberikan ke atas seseorang individu dalammasyarakat ini adalah berdasarkan keahliannya dalam ilmu-ilmu agamaIslam. Nilai-nilai seperti ini menjadikan masyarakat ini begitu kuatdan taat berpegang kepada ajaran Islam dan kepada kepimpinan yang ahlidalam bidang agama Islam. Perkara ini jelas dilihat daripadakemenangan calon parti yang menjadikan Islam sebagai dasar perjuanganpada Pemilihan Umum Persekutuan Tanah Melayu pada tahun 1955 KawasanKerian, Perak yang telah diketahui majoriti daripada penduduknyaterdiri daripada orang Banjar. Beliau yang dimaksudkan ialah Tuan GuruHaji Ahmad Haji Hussein, keturunan Syeikh Muhammad Arsyad al Banjari,seorang tokoh ulama besar berasal dari Tanah Banjar, KalimantanSelatan, Indonesia.Berani dan pemanasSalah satu sifat yang agak ketara terdapat dalam masyarakat Banjarialah bersifat berani dan pemanas. Masyarakat ini pantang dicabar danbersifat panas baran. Penggunaan senjata seperti pisau (biasanyadisebut lading), parang panjang atau badik (sejenis pisau juga), tidakasing lagi bagi mereka terutama ketika berlaku pergaduhan. Dipercayaijuga setiap keluarga orang Banjar pasti menyimpan sebilah parangpanjang di rumah masing-masing untuk menjaga keselamatan mereka. OrangBanjar sering dianggap sebagai masyarakat yang gemar bergaduh olehmasyarakat lain. Sebenarnya, sifat ini telah timbul secara turuntemurun semenjak mereka menetap di Tanah Banjar lagi. Keadaan alamsekeliling di Tanah Banjar yang penuh dengan hutan belukar danbinatang buas menjadikan mereka sentiasa berhadapan dengan cabaran danhalangan dalam meneruskan kehidupan mereka. Orang-orang yang berniagapula sering berhadapan dengan lanun dan perompak memerlukan merekasentiasa bertenaga dan bersedia untuk bertarung dengan pihak musuh.Perkara ini juga telah menyebabkan mereka suka menuntut ilmu-ilmupersilatan daripada pendekar-pendekar tempatan mahupun luar. Keadaanini terbawa-bawa dan akhirnya telah menjadi sifat dan perangai merekasehingga sekarang walaupun semakin berkurangan. Ciri-ciri ini jugalahyang sebenarnya menjadi penyebab kepada pergaduhan yang telah timbuldi kawasan petempatan orang Banjar seperti di Sungai Manik, TelukIntan, Perak pada tahun 1940an dan 1960an mahupun di Batu Pahat,Johor pada 13 Mei 1969, atas gabungan sifat mereka yang kuat peganganagama dan berani serta pemanas.Orang Banjar kiniKini, orang Banjar di Malaysia sebagaimana masyarakat-masyarakatpenghijrah dari Indonesia yang lain seperti orang Jawa, Bugis,Mendailing, Rawa, Kerinchi, Batak, Minangkabau dan lain-lain lagi,telah mengalami arus perubahan yang pesat seiring dengan kepesatanpembangunan di negara ini sendiri. Proses asimilasi yang berlaku keatas masyarakat ini amat ketara terutama apabila mereka sudah tidaktinggal lagi bersama-sama dalam kelompok mereka mahupun apabilaberlakunya perkahwinan campur. Program pendidikan di negara ini jugasedikit sebanyak telah mengasimilasikan masyarakat ini ke dalammasyarakat Melayu tempatan. Generasi muda masyarakat ini sudah agakkurang mahupun tidak tahu atau malu untuk bertutur dalam bahasa Banjarwalaupun ketika berbicara sesama mereka.Sifat mereka yang suka merantau masih membara dijiwa mereka. Buktinya,apabila adanya pembukaan tanah-tanah rancangan sama ada oleh FELDAmahupun FELCRA, mereka akan memberikan sambutan yang menggalakkanuntuk menjadi peserta. Kini, orang Banjar juga banyak didapati dikawasan-kawasan tanah rancangan contohnya di negeri Pahang.Di petempatan yang majoritinya adalah terdiri daripada masyarakatBanjar, Perpaduan mereka masih erat dan mereka masih terus memeliharadan menggunakan bahasa Banjar dalam pertuturan harian. Namun, darisegi pengamalaan adat resam dan organisasi sosial orang Banjar sertaprasangkanya terhadap orang bukan Banjar sudah agak berkurangan danmungkin sudah tiada lagi. Sikap mereka terhadap pendidikan juga telahjauh berubah di mana anak-anak mereka juga telah berjaya melanjutkanpelajaran sehingga ke menara gading dan menjawat jawatan-jawatan yangtinggi di sektor awam mahupun swasta. Namun begitu, pendidikan agamamasih tetap menjadi pilihan utama kebanyakan dari mereka dan buktinyadapat di perhatikan daripada ramainya anak-anak masyarakat ini yangmempunyai kelulusan agama yang tinggi terutama orang Banjar daridaerah Kerian, Perak dan daerah Sabak Bernam di Selangor.Disusun semula oleh:Muhammad Sabil al-Banjari,Jabatan Antropologi dan Sosiologi, UM.

SUKU BANJAR

Asal usul suku Banjar
Suku bangsa Banjar diduga berintikan penduduk asal Sumatera atau daerah sekitarnya, yang membangun tanah air baru di kawasan ini sekitar lebih dari seribu tahun yang lalu. Setelah berlalu masa yang lama sekali akhirnya,-setelah bercampur dengan penduduk yang lebih asli, yang biasa dinamakan sebagai suku Dayak, dan dengan imigran-imigran yang berdatangan belakangan-terbentuklah setidak-tidaknya tiga subsuku, yaitu (Banjar) Pahuluan, (Banjar) Batang Banyu, dan Banjar (Kuala).
Orang Pahuluan pada asasnya ialah penduduk daerah lembah-lembah sungai (cabang sungai Negara) yang berhulu ke pegunungan Meratus, orang Batang Banyu mendiami lembah sungai Negara, sedangkan orang Banjar (Kuala) mendiami sekitar Banjarmasin (dan Martapura).
Bahasa yang mereka kembangkan dinamakan bahasa Banjar, yang pada asasnya adalah bahasa Melayu Sumatera atau sekitarnya-, yang di dalamnya terdapat banyak kosa kata asal Dayak dan asal Jawa.
Nama Banjar diperoleh karena mereka dahulu-sebelum dihapuskan pada tahun 1860-, adalah warga Kesultanan Banjarmasin atau disingkat Banjar, sesuai dengan nama ibukotanya pada mula berdirinya. Ketika ibukota dipindahkan ke arah pedalaman, terakhir di Martapura, nama tersebut nampaknya sudah baku atau tidak berubah lagi.

[sunting] Banjar Pahuluan
Sangat mungkin sekali pemeluk Islam sudah ada sebelumnya di sekitar keraton yang dibangun di Banjarmasin, tetapi pengislaman secara massal diduga terjadi setelah raja, Pangeran Samudera yang kemudian dilantik menjadi Sultan Suriansyah, memeluk Islam diikuti warga kerabatnya, yaitu bubuhan raja-raja. Perilaku raja ini diikuti elit ibukota, masing-masing tentu menjumpai penduduk yang lebih asli, yaitu suku Dayak Bukit, yang dahulu diperkirakan mendiami lembah-lembah sungai yang sama. Dengan memperhatikan bahasa yang dikembangkannya, suku Dayak Bukit adalah satu asal usul dengan cikal bakal suku Banjar, yaitu sama-sama berasal dari Sumatera atau sekitarnya, tetapi mereka lebih dahulu menetap. Kedua kelompok masyarakat Melayu ini memang hidup bertetangga tetapi, setidak-tidaknya pada masa permulaan, pada asasnya tidak berbaur.
Jadi meskipun kelompok suku Banjar (Pahuluan) membangun pemukiman di suatu tempat, yang mungkin tidak terlalu jauh letaknya dari balai suku Dayak Bukit, namun masing-masing merupakan kelompok yang berdiri sendiri. Untuk kepentingan keamanan, dan atau karena memang ada ikatan kekerabatan, cikal bakal suku Banjar membentuk komplek pemukiman tersendiri.
Komplek pemukiman cikal bakal suku Banjar (Pahuluan) yang pertama ini merupakan komplek pemukiman bubuhan, yang pada mulanya terdiri dari seorang tokoh yang berwibawa sebagai kepalanya, dan warga kerabatnya, dan mungkin ditambah dengan keluarga-keluarga lain yang bergabung dengannya.
Model yang sama atau hampir sama juga terdapat pada masyarakat balai di kalangan masyarakat Dayak Bukit, yang pada asasnya masih berlaku sampai sekarang. Daerah lembah sungai-sungai yang berhulu di Pegunungan Meratus ini nampaknya wilayah pemukiman pertama masyarakat Banjar, dan di daerah inilah konsentrasi penduduk yang banyak sejak jaman kuno, dan daerah inilah yang dinamakan Pahuluan. Apa yang dikemukakan di atas menggambarkan terbentuknya masyarakat (Banjar) Pahuluan, yang tentu saja dengan kemungkinan adanya unsur Dayak Bukit ikut membentuknya

[sunting] Banjar Batang Banyu
Masyarakat (Banjar) Batang Banyu terbetuk diduga erat sekali berkaitan dengan terbentuknya pusat kekuasaan yang meliputi seluruh wilayah Banjar, yang barangkali terbentuk mula pertama di hulu sungai Negara atau cabangnya yaitu sungai Tabalong. Selaku warga yang berdiam di ibukota tentu merupakan kebanggaan tersendiri, sehingga menjadi kelompok penduduk yang terpisah.
Daerah tepi sungai Tabalong adalah merupakan tempat tinggal tradisional dari suku Dayak Maanyan (dan Lawangan), sehingga diduga banyak yang ikut serta membentuk subsuku Batang Banyu, di samping tentu saja orang-orang asal Pahuluan yang pindah ke sana dan para pendatang yang datang dari luar.
Bila di Pahuluan umumnya orang hidup dari bertani (subsistens), maka banyak di antara penduduk Batang Banyu yang bermata pencarian sebagai pedagang dan pengrajin.

[sunting] Banjar Kuala
Ketika pusat kerajaan dipindahkan ke Banjarmasin (terbentuknya Kesultanan Banjarmasin), sebagian warga Batang Banyu (dibawa) pindah ke pusat kekuasaan yang baru ini dan, bersama-sama dengan penduduk sekitar keraton yang sudah ada sebelumnya, membentuk subsuku Banjar.
Di kawasan ini mereka berjumpa dengan suku Dayak Ngaju , yang seperti halnya dengan dengan masyarakat Dayak Bukit dan masyarakat Dayak Maanyan atau Lawangan , banyak di antara mereka yang akhirnya melebur ke dalam masyarakat Banjar, setelah mereka memeluk agama Islam.
Mereka yang bertempat tinggal di sekitar ibukota kesultanan inilah sebenarnya yang dinamakan atau menamakan dirinya orang Banjar, sedangkan masyarakat Pahuluan dan masyarakat Batang Banyu biasa menyebut dirinya sebagai orang (asal dari) kota-kota kuno yang terkemuka dahulu. Tetapi bila berada di luar Tanah Banjar, mereka itu tanpa kecuali mengaku sebagai orang Banjar.
(Alfani Daud, Islam dan Asal Usul Masyarakat Banjar)

[sunting] Inti Suku Banjar
Menurut Alfani Daud (Islam dan Masyarakat Banjar, 1997), inti suku Banjar adalah para pendatang Melayu dari Sumatera dan sekitarnya, sedangkan menurut Idwar Saleh justru penduduk asli suku Dayak (yang kemudian bercampur membentuk kesatuan politik sebagaimana Bangsa Indonesia dilengkapi dengan bahasa Indonesia-nya).
Menurut Idwar Saleh (Sekilas Mengenai Daerah Banjar dan Kebudayaan Sungainya Sampai Akhir Abad ke-19, 1986): " Demikian kita dapatkan keraton keempat adalah lanjutan dari kerajaan Daha dalam bentuk kerajaan Banjar Islam dan berpadunya suku Ngaju, Maanyan dan Bukit sebagai inti. Inilah penduduk Banjarmasih ketika tahun 1526 didirikan. Dalam amalgamasi (campuran) baru ini telah bercampur unsur Melayu, Jawa, Ngaju, Maanyan, Bukit dan suku kecil lainnya diikat oleh agama Islam, berbahasa Banjar dan adat istiadat Banjar oleh difusi kebudayaan yang ada dalam keraton....Di sini kita dapatkan bukan suku Banjar, karena kesatuan etnik itu tidak ada, yang ada adalah group atau kelompok besar yaitu kelompok Banjar Kuala, kelompok Banjar Batang Banyu dan Banjar Pahuluan. Yang pertama tinggal di daerah Banjar Kuala sampai dengan daerah Martapura. Yang kedua tinggal di sepanjang sungai Tabalong dari muaranya di sungai Barito sampai dengan Kelua. Yang ketiga tinggal di kaki pegunungan Meratus dari Tanjung sampai Pelaihari. Kelompok Banjar Kuala berasal dari kesatuan-etnik Ngaju, kelompok Banjar Batang Banyu berasal dari kesatuan-etnik Maanyan, kelompok Banjar Pahuluan berasal dari kesatuan-etnik Bukit. Ketiga ini adalah intinya. Mereka menganggap lebih beradab dan menjadi kriteria dengan yang bukan Banjar, yaitu golongan Kaharingan, dengan ejekan orang Dusun, orang Biaju, Bukit dan sebagainya".
Selanjutnya menurut Idwar Saleh (makalah Perang Banjar 1859-1865, 1991): "Ketika Pangeran Samudera mendirikan kerajaan Banjar ia dibantu oleh orang Ngaju, dibantu patih-patihnya seperti patih Balandean, Patih Belitung, Patih Kuwin dan sebagainya serta orang Bakumpai yang dikalahkan. Demikian pula penduduk Daha yang dikalahkan sebagian besar orang Bukit dan Manyan. Kelompok ini diberi agama baru yaitu agama Islam, kemudian mengangkat sumpah setia kepada raja, dan sebagai tanda setia memakai bahasa ibu baru dan meninggalkan bahasa ibu lama. Jadi orang Banjar itu bukan kesatuan etnis tetapi kesatuan politik, seperti bangsa Indonesia".
Maka dapat diambil kesimpulan bahwa Suku Banjar terbagi 3 subetnis berdasarkan teritorialnya dan unsur pembentuk suku berdasarkan persfeketif kultural dan genetis yang menggambarkan masuknya penduduk pendatang ke wilayah penduduk asli Dayak:
Banjar Pahuluan adalah campuran Melayu dan Bukit (Bukit sebagai ciri kelompok)
Banjar Batangbanyu adalah campuran Melayu, Maanyan, Lawangan, Bukit dan Jawa (Maanyan sebagai ciri kelompok)
Banjar Kuala adalah campuran Melayu, Ngaju, Barangas, Bakumpai, Maanyan, Lawangan, Bukit dan Jawa (Ngaju sebagai ciri kelompok)
Dengan mengambil pendapat Idwar Saleh tentang inti suku Banjar, maka percampuran suku Banjar dengan suku Dayak Ngaju/suku serumpunnya (Kelompok Barito Barat) yang berada di sebelah barat Banjarmasin (Kalimantan Tengah) dapat kita asumsikan sebagai kelompok Banjar Kuala juga. Di sebelah utara Kalimantan Selatan terjadi percampuran suku Banjar dengan suku Maanyan/suku serumpunnya (Kelompok Barito Timur) seperti Dusun, Lawangan dan suku Pasir di Kalimantan Timur yang juga berbahasa Lawangan, dapat kita asumsikan sebagai kelompok Banjar Batang Banyu. Percampuran suku Banjar di tenggara Kalimantan yang banyak terdapat suku Bukit kita asumsikan sebagai Banjar Pahuluan.

[sunting] Agama Islam dan suku Banjar
Menurut Alfani Daud (1997:6):"Islam telah menjadi ciri masyarakat Banjar sejak berabad-abad yang silam. Islam juga telah menjadi identitas mereka, yang membedakannya dengan kelompok-kelompok Dayak yang ada di sekitarnya, yang umumnya masih menganut religi sukunya. Memeluk Islam merupakan kebanggaan tersendiri, setidak-tidaknya dahulu, sehingga berpindah agama di kalangan masyarakat Dayak dikatakan sebagai "babarasih" (membersihkan diri) di samping menjadi orang Banjar."
Menurut Irfan Noor dalam "Islam dan Universum simbolik Urang Banjar" bahwa : Masyarakat Banjar bukanlah suatu yang hadir begitu saja, tapi ia merupakan konstruksi historis secara sosial suatu kelompok manusia yang menginginkan suatu komunitas tersendiri dari komunitas yang ada di kepulauan Kalimantan. Selanjutnya menurutnya : Etnik Banjar merupakan bentuk pertemuan berbagai kelompok etnik yang memiliki asal usul beragam yang dihasilkan dari sebuah proses sosial masyarakat yang ada di daerah ini dengan titiuk berangkat pada proses Islamisasi yang dilakukan oleh Demak sebagai syarat berdirinya Kesultanan Banjar. Menurtnya pula : "Banjar" sebelum berdirinya Kesultanan Islam Banjar belumlah bisa dikatakan sebagai sebuah ksesatuan identitas suku atau agama, namun lebih tepat merupakan identitas yang merujuk pada kawasan teritorial tertentu yang menjadi tempat tinggal.

[sunting] Suku Banjar di Kalimantan Timur
Suku Banjar (Banjar Samarinda) di Kalimantan Timur sering disebut juga suku Melayu, merupakan 15 % dari populasi penduduk. Suku Banjar terdapat seluruh kabupaten dan kota di Kaltim. Suku Banjar Kaltim lebih banyak populasinya dibandingkan suku Kutai, maupun suku Dayak setempat. Beberapa kecamatan yang terdapat banyak suku Banjarnya misalnya Kecamatan Kenohan, Kutai Kartanegara dan Jempang, Kutai Barat, Samarinda Ulu, Samarinda, Samarinda Ilir, Samarinda (Samarinda), Balikpapan, Tarakan dan di muara sungai Kelai, Berau.
Migrasi suku Banjar (Batang Banyu) ke Kalimantan Timur terjadi tahun 1565 yaitu orang-orang Amuntai yang dipimpin Aria Manau (ayahanda Puteri Petung) dari Kerajaan Kuripan (versi lainnya dari Kerajaan Bagalong di Kelua, Tabalong) yang merupakan cikal bakal berdirinya Kerajaan Sadurangas (Kesultanan Pasir) di daerah Pasir, selanjutnya suku Banjar juga tersebar di daerah lainnya di Kalimantan Timur. Organisasi Suku Banjar di Kalimantan Timur adalah Kerukunan Bubuhan Banjar-Kalimantan Timur (KBB-KT).

[sunting] Suku Banjar di Kalimantan Tengah
Suku Banjar di Kalimantan Tengah sering pula disebut Banjar Melayu Pantai atau Banjar Dayak maksudnya suku Banjar yang terdapat di daerah Dayak Besar yaitu nama lama Kalimantan Tengah. Suku Banjar merupakan 25 % dari populasi penduduk dan sebagai suku terbanyak di Kalteng dibanding suku Dayak Ngaju, suku Dayak Bakumpai, Suku Dayak Sampit dan lain-lain. Perkampungan suku Banjar Kalteng terutama terdapat daerah kuala dari sungai Mentaya, Kotawaringin Timur dan sungai Seruyan, Seruyan misalnya desa Tanjungrangas dan Pematangpanjang.
Migrasi suku Banjar (Banjar Kuala) ke Kalimantan Tengah terutama terjadi pada masa pemerintahan Sultan Banjar IV yaitu Raja Maruhum atau Sultan Musta'inbillah (1650-1672), yang telah mengijinkan berdirinya Kesultanan Kotawaringin dengan rajanya yang pertama [[Pangeran Adipati Antakusuma.
Suku Banjar yang datang dari lembah sungai Negara (wilayah Batang Banyu) terutama orang Negara (urang Nagara) yang datang dari Kota Negara (bekas ibukota Kerajaan Negara Daha), kecamatan Daha Selatan, Hulu Sungai Selatan telah cukup lama mendiami wilayah Kahayan Kuala, Pulang Pisau, yang kemudian disusul orang Kelua (urang Kalua) dari Tabalong dan orang Hulu Sungai lainnya mendiami daerah yang telah dirintis oleh orang Negara. Puak-puak suku Banjar ini akhirnya melakukan perkawinan campur dengan suku Dayak Ngaju setempat dan mengembangkan agama Islam di daerah tersebut.
Sedangkan migrasi suku Banjar ke wilayah Barito, Kalimantan Tengah terutama pada masa perjuangan Pangeran Antasari melawan Belanda sekitar tahun 1860-an. Suku-suku Dayak di wilayah Barito mengangkat Pangeran Antasari (Gusti Inu Kartapati) sebagai raja dengan gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin berkedudukan di Puruk Cahu (Murung Raya), setelah mangkat beliau perjuangannya dilanjutkan oleh putranya yang bergelar Sultan Muhammad Seman.

[sunting] Suku Banjar di Jawa Tengah

Masjid-Kampung Banjar Semarang

Kampung Banjar, Kelurahan Dadapsari, Semarang Utara
Suku Banjar di Jawa Tengah hanya berkisar 10.000 jiwa, jadi tidak sebanyak di Jambi, Riau dan Sumatera Utara. Suku Banjar terutama bermukim di Kota Semarang dan Kota Surakarta. Di Semarang suku Banjar (dahulu) kebanyakan bermukim di Kampung Banjar di Kelurahan Dadapsari, Semarang Utara, Semarang. Dahulu kampung ini merupakan wilayah kelurahan Banjarsari, Kecamatan Semarang Tengah yang telah dilikuidasi karenanya adanya penataan wilayah administrasif kota Semarang. Migrasi suku Banjar ke kota Semarang kira-kira pada akhir abad ke-19 dan bermukim di sebelah barat kali Semarang berdekatan dengan kampung Melayu (Ex. Kelurahan Mlayu Darat yang telah dilikuidasi). Di wilayah ini suku Banjar membaur dengan suku lainnya seperti suku Arab-Indonesia, Gujarat, Melayu, Bugis dan suku Jawa setempat. Keunikan suku Banjar di kampung ini , mereka mendirikan rumah panggung (rumah ba-anjung) seperti di daerah asalnya, tetapi sayang kebayakan rumah tersebut sudah mulai tergusur karena kondisi yang sudah tua maupun faktor alam (air pasang, rob) yang nyaris menenggelamkan kawasan ini akibat banjir pasang air laut. Sedangkan di Surakarta suku Banjar kebanyakan bermukim di Kampung Jayengan. Suku Banjar di Surakarta memiliki yayasan Darussalam, yang diambil dari nama Pesantren terkenal yang ada di kota Martapura. Kebanyakan suku Banjar di Jawa Tengah merupakan generasi ke-5 dari keturunan Martapura, Kabupaten Banjar. Tokoh suku Banjar di Jawa Tengah adalah (alm) Drs. Rivai Yusuf asal Martapura, yang pernah menjabat Bupati Pemalang dan Kepala Dinas Perlistrikan Jawa Tengah. Beliau juga ketua Ikatan Keluarga Kalimantan ke-1, saat ini dijabat Bp. H Akwan dari Kalimantan Barat. Di samping itu ada pula Ikatan Keluarga Banjar di Semarang, yang diketuai H. Karim Bey Widaserana dari Barabai.

[sunting] Suku Banjar di Sumatera dan Malaysia
Suku Banjar yang tinggal di Sumatera dan Malaysia merupakan anak, cucu, intah, piat dari para imigran etnis Banjar yang datang dalam tiga gelombang migrasi besar. Pertama, pada tahun 1780 terjadi migrasi besar-besaran ke pulau Sumatera. Etnis Banjar yang menjadi emigran ketika itu adalah para pendukung Pangeran Amir yang menderita kekalahan dalam perang saudara antara sesama bangsawan Kerajaan Banjar, yakni Pangeran Tahmidullah. Mereka harus melarikan diri dari wilayah Kerajaan Banjar karena sebagai musuh politik mereka sudah dijatuhi hukuman mati. Kedua, pada tahun 1862 terjadi lagi migrasi besar-besaran ke pulau Sumatera. Etnis Banjar yang menjadi imigrannya kali adalah para pendukung Pangeran Antasari dalam kemelut Perang Banjar. Mereka harus melarikan diri dari pusat pemerintahan Kerajaan Banjar di kota Martapura karena posisi mereka terdesak sedemikian rupa. Pasukan Residen Belanda yang menjadi musuh mereka dalam Perang Banjar yang sudah menguasai kota-kota besar di wilayah Kerajaan Banjar. Ketiga, pada tahun 1905 etnis Banjar kembali melakukan migrasi besar-besaran ke pulau Sumatera. Kali ini mereka terpaksa melakukannya karena Sultan Muhammad Seman yang menjadi Raja di Kerajaan Banjar ketika itu mati syahid di tangan Belanda.
Migrasi suku Banjar ke Sumatera khususnya ke Tembilahan, Indragiri Hilir sekitar tahun 1885 di masa pemerintahan Sultan Isa, raja Indragiri sebelum raja yang terakhir. Tokoh etnis Banjar yang terkenal dari daerah ini adalah Syekh Abdurrahman Siddiq Al Banjari (Tuan Guru Sapat/Datu Sapat) yang berasal dari Martapura, Banjar yang menjabat sebagai Mufti Kerajaan Indragiri.
Keadaan mayarakat Kalimantan Selatan antara tahun 1900-1942 :Pada tahun 1905 perlawanan terakhir para gusti (gelar bangsawan Banjar) ditumpas, tetapi sisa-sisanya masih mengadakan perlawanan kecil-kecilan yang cukup membahayakan Belanda. Kerja rodi (bahasa Banjar : erakan) dan pajak kepala yang dianggap sangat memberatkan, mengakibatkan dalam periode ini banyak sekali orang Banjar terutama dari Hulu Sungai mengungsi keluar Kalimantan Selatan pergi ke Sumatera dan Malaysia Barat. Terhadap tekanan rodi menimbulkan keresahan sosial dan perlawanan dari anak cucu orang sepuluh Amuntai, pemberontakan Nanang Sanusi (1914-1918), dan pemberontakan Gusti Barmawi di Kelua, Tabalong. Antara tahun 1914-1919 akibat perang dunia I, Kalimantan Selatan kekurangan beras yang luar biasa, hingga terkenal dengan nama "zaman beras larang" dan "zaman antri beras", hidup rakyat menjadi sangat susah sekali. Sejak tahun 1920-an, akibat rodi ini telah pindah banyak sekali penduduk Hulu Sungai ke daerah Sapat dan Tembilahan, Indragiri Hilir, di pantai timur Sumatera dan Malaysia. Kejengkelan rakyat terhadap segala pajak, landrente, pajak pasar, pajak yang dikenakan pada orang yang naik haji, dan kerja rodi (bahasa Banjar : erakan) pada masa itu juga telah diajukan keberatan-keberatan melalui organisasi Sarekat Islam maupun organisasi lainnya yang ada di daerah ini. Rakyat mengetahui bahwa otonomi dalam bentuk Gemeente raad yang diberikan pemerintah kolonial hanyalah untuk kepentingan orang-orang kulit putih semata. Dalam bidang pendidikan dirasakan tekanan-tekanan politik terhadap sekolah-sekolah swasta seperti Taman Siswa dan sejenisnya. Dalam bidang politik, partai-partai non koperasi atau bukan keduanya mengalami tekanan yang berat sehingga partai-partai non koperasi menjadi lumpuh. Demikian pula partai-partai penggantinya yang bersifat koperasi seperti Parindra dan Gerindo juga mengalami berbagai tekanan seperti yang dialami tokoh Parindra Kalsel, Ahmad Barmawi Thaib dan Hadhariyah M
Banyak suku Banjar juga bermigrasi ke Malaysia antara lain ke negeri Kedah, Perak ( Kerian, Sungai Manik, Bagan Datoh), Selangor(Sabak Bernam, Tanjung Karang), Johor(Batu Pahat) dan juga negeri Sabah (Sandakan, Tenom, Keningau, Tawau) yang disebut Banjar Melau. Tokoh etnis Banjar yang terkenal dari Malaysia adalah Syekh Husein Kedah Al Banjari, mufti Kerajaan Kedah. Salah satu etnis tokoh Banjar dari Malaysia yang terkenal saat ini adalah Dato Seri (DR) Harussani bin Haji Zakaria yang menjadi Mufti Kerajaan Negeri Perak. Daerah (setingkat kabupaten) yang paling banyak terdapat etnis Banjar di Malaysia adalah Daerah Kerian di Negeri Perak Darul Ridzuan. Organisasi suku Banjar di Malaysia adalah Pertubuhan Banjar Malaysia

[sunting] Lihat pula
Penyebaran Suku Bangsa Banjar
Ulama Banjar
Populasi Suku Bangsa Banjar
Bubuhan
Persaudaraan Suku Banjar dengan Suku Dayak
Seni Tradisional Banjar
Kerajaan Banjar
Organisasi suku Banjar
Kabupaten Banjar
Kota Banjarmasin
Kota Banjarbaru

[sunting] Literatur
Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar; Deskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar, (Jakarta: Rajawali Press, 1997).
J.J. Rass, Hikajat Bandjar:A Study in Malay Histiography, (The Hague : Martinus Nijhoff), 1968
Tjilik Riwut, Kalimantan Memanggil, Djakarta:Penerbit Endang, 1957.
Idwar Saleh, Sejarah bandjarmasin:Selajang Pandang Mengenai Bnagkitnja Keradjaan Bandjarmasin, Posisi, Funksi dan Artinja Dalam Sedjarah Indonesia Dalam Abad Ketudjuh Belas. Bandung: Balai Pendidikan Guru. 1958
Rumah Tradisional Banjar: Rumah Bubungan Tinggi, Departemen Pendididkan dan Kebudayaan, Museum Negeri Lambung Mangkurat, 1984
M. Gazali Usman, Kerajaan Banjar:Sejarah Perkembangan Politik, Ekonomi, Perdagangan dan Agama Islam, Banjarmasin: Lambung Mangkurat Press, 1994.
Jurnal Kebudayaan:KANDIL, Melintas Tradisi, Edisi 6, Tahun II, Agustus-Oktober, 2004 ISSN: 1693-3206
Arthum Artha, Naskah Kitab Undang Undang Sultan Adam 1825, Banjarmasin: Penerbit Murya Artha, 1988